PEJUANG KEADILAN

Sabtu, 10 Juli 2021

PERKAWINAN SIRRI MERUGIKAN ISTRI DAN ANAK

PERKAWINAN SIRI (Akibat, Dampak dan Solusi Hukumnya)
I. PENGERTIAN Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin bawah tangan’, ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat nikah (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam). Ada pula yang menyatakan bahwa nikah siri memiliki arti nikah secara rahasia. Disebut rahasia karena tidak dilaporkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) bagi Muslim atau ke Kantor Catatan Sipil bagi non-Muslim. Biasanya, nikah siri dilakukan karena kedua belah pihak belurn siap meresmikannya atau meramaikannya, namun di pihak lain untuk rnenjaga agar tidak terjadi hal-ha1 yang tidak diinginkan atau terjerumus kepada hal-ha1 yang dilarang agama. Sedangkan sah atau tidaknya nikah siri secara agama dikatakan adalah tergantung kepada sejauh mana syarat-syarat dan rukun nikah terpenuhi. Syarat-syarat nikah menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan: • Harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai (tidak boleh kawin paksa) • Orang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua atau walinya • Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria sudah berumur 19 tahun dan perempuan sudah berumur 16 tahun • Bila belum berumur, seperti disebut di atas, rnaka meminta dipensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain Rukun nikah : • Adanya rnempelai laki-laki • Adanya mernpelai perempuan • Ada Wali (bagi si perempuan) • Saksi nikah (minimal dua orang laki-laki) • Adanya mahar (mas kawin) • Ada aqad (ijab dari wali perempuan dan wakilnya dan qabul dari mempelai laki-laki atau wakilnya). Jika sy'arat dan rukun nikah ini dipenuhi ketika nikah siri digelar, rnaka sah menurut agama islam. Narnun apabila sebuah perkawinan tidak didaftarkan pada Pegawai Pencatat, maka perkawinan itu tidak mendapat perlindungan hukum. Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif, bukan rnerupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Dengan demikian maka dengan nikah siri tidak mempunyai akte nikah sebagai bukti perkawinan yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). II. NORMATIF HUKUMNYA Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. III. AKIBAT HUKUMNYA Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah di mata hukum. Secara Hukum Positif, nikah siri adalah tidak lengkapnya suatu perbuatan hukurn karena tidak tercatat secara resmi dalam catatan resmi pemerintah. Demikian juga anak yang lahir dari pernikahan siri ini, dianggap tidak dapat dilegalkan oleh Negara melalui Akte Kelahiran. Sebagairnana kita ketahui, setiap warga negara Indonesia yang rnelakukan pernikahan, harus mendaftarkan pernikahannya ke KUA atau Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan Surat/ Akta Nikah. Sesuai dengan Pasal 5 Kornpilasi Hukurn lslam (Inpres No.1 Tahun 1991), agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, suatu perkawinan harus tercatat. Pasal 7 aturan tersebut juga rnenyebutkan, perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nafkah. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tadi. Perkawinan yang tidak tercatat baik di KUA atau Kantor Catatan Sipil tidak mendapat perlindungan hukum. Artinya, ketika di kemudian hari perkawinan/ nikah siri ini mengalami peristiwa, perceraian, sengketa warisan dan lain-lain, para pihak tidak dapat mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan Negeri atau ke Pengadilan Agama. IV. DAMPAK PERNIKAHAN SIRI • Terhadap Istri Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, dampak nikah sirri untuk pihak istri sangatlah merugikan. Secara hukum istri tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia juga tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika meninggal dunia, istri juga tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum perkawinan tidak pernah terjadi. Secara sosial: Istri atau perempuan akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau anda dianggap menjadi istri simpanan. a. Terhadap anak Dampaknya untuk anak juga negatif, sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni: Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya • Terhadap laki-laki atau suami Untuk pihak laki-laki dampaknya sangat menyenangkan karena suami bebas untuk menikah lagi karena perkawinan sebelumnya yang secara sirri dianggap tidak sah di mata hukum, suami bisa berkelit untuk menghindari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri atau kepada anak-anaknya, suami tidak dipusingkan lagi dengan pembagian harta gono-gini, warisan, dll. V. SOLUSI HUKUMNYA Apabila telah terlanjur terjadi nikah sirri yang bisa dilakukan adalah: A. Bagi yang Beragama Islam - Mencatatkan perkawinan dengan itsbat nikah Bagi yang beragama Islam, namun tak dapat membuktikan terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan/pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a. dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan. Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dengan alasan dalam rangka penyelesaian perceraian. Sedangkan pengajuan itsbat nikah dengan alasan lain (bukan dalam rangka perceraian) hanya dimungkinkan jika sebelumnya sudah memiliki Akta Nikah dari pejabat berwenang. Jangan lupa, bila anda telah memiliki Akte Nikah, anda harus segera mengurus Akte Kelahiran anak-anak anda ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak anda pun sah di mata hukum. Jika pengurusan akte kelahiran anak ini telah lewat 14 (empat belas) hari dari yang telah ditentukan, anda terlebih dahulu harus mengajukan permohonan pencatatan kelahiran anak kepada pengadilan negeri setempat. Dengan demikian, status anak-anak anda dalam akte kelahirannya bukan lagi anak luar kawin. - Melakukan perkawinan ulang Perkawinan ulang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam. Namun, perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status bagi perkawinan anda. Namun, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akte kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan. B. Bagi yang beragama non-Islam - Perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut. Penting untuk diingat, bahwa usai perkawinan ulang, perkawinan harus dicatatkan di muka pejabat yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara). - Pengakuan anak Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun, berdasarkan pasal 43 UU no 1 /1974 yang pada intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat melakukan Pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUH Perdata. VI. ITSBAT NIKAH (PENGESAHAN NIKAH) BAGI YANG BERAGAMA ISLAM Pemerintah sampai saat ini belum rnemberikan legalisai terhadap nikah siri dengan mensahkannya, jika pasangan yang menikah secara-siri mengajukan perrnohonan ke Pengadilan Agarna, hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar tidak terjadi lagi pernikahan siri atau legalisasi nikah siri yang memang merugikan kaurn perempuan dan anak-anak hasil pernikahan siri. Menurut Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991), dalam ha1 perkawinan tak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan ltsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Untuk wilayah Aceh, kewenangan Pengadilan Agama ada di Mahkamah Syar'iyah. Apa itu ltsbat Nikah (Pengesahan Nikah oleh Mahkarnah Syar'iyah atau Pengadilan Agama) dan dalarn hal apa saja Itsbat Nikah itu diperbolehkan? Menurut Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, ltsbat Nikah yang dilakukan harus berdasarkan: 1. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian pernikahan. lnilah yang sering diajukan pasangan nikah siri jika rnisalnya mereka mau bercerai. 2. Hilangnya Akta Nikah 3. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan 4. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakukan UU No. Tahun 1974 tentang Perkawinan 5. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan. Yang berhak mengajukan permohonan ltsbat Nikah, suami, isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan para pihak yang berkepentingan dengan pernikahan itu. Adapun prosedur penyelesaian ltsbat Nikah tersebut : - Pemohon (suami/ isteri) rnengajukan perkara perrnohonan kepada Pengadilan Agama/ Mahkarnah Syar'iyah. - Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar'iyah menyidangkan perkara tersebut dengan acara volunteer (tanpa sengketa) dengan mendengarkan keterangan pemohon dan para saksi serta memeriksa surat/ dokumen yang berkaitan (bila ada) - Apabila permohonan dikabulkan, maka penetapan hakim akan berisikan, dikabulkannya permohonan, menetapkan sahnya pernikahan tersebut, menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara. VII. KESIMPULAN - Meski diakui secara agama maupun adat istiadat, perkawinan bawah tangan anda dianggap tidak sah oleh negara - Perkawinan bawah tangan hanya menguntungkan suami/ laki-laki dan akan merugikan anda dan anak anda