PEJUANG KEADILAN

Sabtu, 21 Agustus 2010

MENIKAH SIRI, HATI-HATI WANITA YANG RUGI

Secara hukum, bagaimana kedudukan dan hak sebagai seorang wanita jika menikah siri?
Menurut Ahmad Dhani, 'nikah siri is the best!', tapi bagi wanita akankah pernikahan siri juga yang terbaik? Pernikahan siri (lazim disebut pernikahan di bawah tangan) dilakukan di hadapan ustaz atau ulama, namun pernikahan ini tidak dicatat pegawai Kantor Urusan Agama (Pegawai Pencatat Pernikahan).

Menurut situs sholahuddin, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan, maka anda bisa terjerat delik pidana baik itu pasL 284 maupun pasal 279Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
1. Anda bisa kehilangan atau tidak dapat sepenuhnya hak-hak yang seharusnya bila jadi istri sah secara hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan penghidupan untuk anak Anda kelak.

2. Seandainya terjadi perpisahan, Anda tidak berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.

3. Seandainya pasangan meninggal dunia, Anda tidak berhak mendapatkan warisan, begitu juga anak Anda. Karena, anak yang dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.

4. Anda pun dapat dikenakan pidana. Istri sah dari kekasih Anda bisa saja melaporkan Anda dan suaminya (kekasih Anda) telah melakukan tindak pidana kejahatan dalam perkawinan (pasal 279 (1) KUHP) atau tindak pidana perzinaan (pasal 284 ayat (1e,b)

Sabtu, 14 Agustus 2010

DAMPAK PEKERJAAN ORANG TUA BAGI ANAK

Ibu Bekerja & Dampaknya bagi Perkembangan Anak

Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.

Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian.

Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.

Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.

Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.

Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.

Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.

(sumber: iqeq.web.id)

Kamis, 05 Agustus 2010

PENGKAJIAN DALAM PERUMUSAN SUATU PERBUATAN PIDANA

Dalam buku II dan III KUHP disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan berserta sangsi pidanya, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang untuk dilakukan. Maksud dari pengertian tersebut agar dapat di capai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi cirri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dapat di bedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
Dalam suatu delik Pencurian misalanya, unsur-unsur pokok sudah ditentukan yaitu mengambil barang orang lain, tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang lain dapat secara otomatis dikatan melanggar pasal 362 KUHP, karena dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Adapun cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur suatu delik seperti tersebut diatas, tidak dapat dilakukan begitu saja, karena ada kalanya hal itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membuat aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
Contoh kasus dari pengertian cara tersebut diatas adalah pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan dan pasal 297 yaitu perdagangan wanita ( vrouwen handel ).
Mengenai penganiayaan dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi menimbulkan nestapa ( leed ) atau rasa sakit ( pijin ) pada orang lain.
Tapi mengenai perdagangan wanita, batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum di ketemukan, karena hanya di tentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.
Dalam KUHP selain dari menentukan unsur-unsur dari perbuatan yang dilarang disitu juga diberi kualifikasi perbuatan.
Misalnya pada pasal 362 dan 480 tadi, disamping penentuan elemen-elemenya juga ditentukan bahan kualifikasinya adalah “pencurian” dan “penadahan”.
Berkaitan dengan cara yang demikian ini, maka diajukan persoalan, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus dipandang sebagai suatu singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan didalam pasal tersebu ?, ataukah juga mempunyai arti sendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga ada dua batasannya untuk perbuatan yang dilarang ?, yaitu
1. Batasan menurut unsur-unsurnya dan ;
2. menurut pengertian yang umum (kualifikasi).
Dalam pengertian Memorie van Tpelichting ( MvT ) tidak ada keraguan-keraguan bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur, hal ini hanya sekedar untuk memudahkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja.
Seperti laksana suatu etikat untuk apa yang terkandung dalam rumusan, akan tetapi, demikian Van Hattum dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.
Misalnya dalam putusan Hoog Raad tahun 1927 mengenai penadahan dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri menarik keuntungan, tak mungkin dikenai pasal tentang penadahan, sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu.
Semua unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi. sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain.
Perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan lain, dan dari mana barang tadi didapatnya. Juga dalam teori, hal itu menjadi persoalan.
Kalau ada orang lain yang kecurian sesuatu barang, kemudian orang tadi pergi ke tempat pasar loak, dan ternyata ia melihat barangnya ada disitu kemudian ia membeli barangnya tadi, apakah orang itu juga dapat di tuntut karena pasal 480 ?
Menurut unsur-unsurnya, perbuatanya masuk dalam pasal tersebut, dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan ( kerena sudah jelas-jelas ia mengetahui kalau barang yang dibeli itu adalah miliknya sendiri yang hilang karena dicuri orang ), akan tapi bertalian dengan persoalan tersebut, ada juga yang mengatakan : bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “membeli“ barang tersebut, sebab itu adalah barangnya sendiri, sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan. Jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480 KUHP, sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi .
Jika sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material, lalu apa artinya ?, hal inilah merupakan tugas Hakim Hakim untuk mengkaji dan menelaah atas kasus dimaksud.
Sedikit akan saya coba ambil narasai dari suatu delik misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasan barang yang telah dicuri, dalam kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”, dan akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencarian.
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 338) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh.
Perlu diajukan pula, adanya rumusan-rumusan yang formal-material, artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.
Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan, akibatnya yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, mengingatkan pada rumusan yang material. meskipun demikian tidak tiap-tiap cara untuk menggerak hati orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal 378, disini terang ada rumusan formal.
Pertanyaannya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan ?
jawabanya adalah oleh karena perbedaan perumusan itu disatu pihak mempunyai konsenkuensi lain dalam pembuktian ; dipihak lain, bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat, apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sangsi pidana dirumuskan secara formil atau materil ?, hal ini ternyata dalam sejarah pasal 154 KUHP yang dulunya dirumuskan secara material, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.