PEJUANG KEADILAN

Minggu, 24 Oktober 2010

Lanjutan catatan saya tentang Hak Tanggungan

SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN



Penentuan pembebanan Hak Tanggungan harus dilakukan atau dibuat dengan perantaraan kuasa yang akta autentik, sebagai penjabaran ketentuan sebelumnya yang terdapat dalam Pasal 1171 KUH Perdata ayat (2) yang pada prinsipnya untuk memasang Hipotek harus dibuat dengan akta autentik. Akta autentik yang dimaksudkan adalah akta yang dibuat oleh notaris. Sementara itu, khusus Surat kuasa pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:



Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :



(a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan (Yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah.)



(b) tidak memuat hak subsitusi (Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala cabangnya untuk atau pihak lain).



(c) mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, Jumlah utang dengan nama serta identitasnya kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. (Kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah Jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (I).)



(d) Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali tidak dapat berakhir oleh sebab apa pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.



Sejalan dengan ketentuan Pasal 15 di atas, khusus penjelasan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa:



Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum angka 7 pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT diperkenankan penggunaan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan.



Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan apabila surat kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak dibuatkan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termasuk di atas.



Beranjak dari ketentuan Pasal 15 UUHT dan penjelasannya, khusus untuk ketentuan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Meneg Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu tanggal 8 Mei 1996. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) dinyatakan bahwa, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 28 Mei 1993, berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan adanya jenis-jenis kredit tersebut, dalam Pasal 1 PMNA/ KBPN disebutkan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagai berikut.



1) Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:



(a) Kredit kepada Koperasi Unit Desa;

(b) Kredit Usaha Tani;

(c) Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya.

(2) Kredit Pemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu

(a) Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana, atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi);

(b) Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya;

(c) Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b.

(3) Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Badan Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain:



a) Kredit Umum Pedesaan;



b) Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah),



Sementara untuk objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, dalam Pasal 2 peraturan MNA/ KBPN ditentukan sebagai berikut.



Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit di bawah ini dengan objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan:



(1) Kredit produktif yang termasuk Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. Kep.26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkereditan Rakyat dengan plafon kredit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas sampai dengan Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);



(2) Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Direksi Bank Indonesia sebagaimana disebut pada poin 1, yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan rumah dan toko tersebut masing-masing tidak lebih dari 70 M2 (tujuh puluh meter persegi) dengan plafon tidak melebihi Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit tersebut;



(3) Kredit untuk perumahan inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut;



(4) Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka Pemilikan Kredit rumah yang termasuk Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.



E. PERINGKAT HAK TANGGUNGAN



Hak Tanggungan memiliki peringkat sesuai dengan waktu pendaftarannya.



Hak Tanggungan tersebut didaftar di Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai



ketentuan Pasal 5 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 1, 2 dan 3).



Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 5 di atas, St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 125)



Ketentuan mengenai penentuan dari urutan peringkat dari beberapa Hak Tanggungan yang telah dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbaikan dari ketentuan mengenai penentuan peringkat dari beberapa Hipotek yang dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dalam Pasal 1181 ayat (2) KUHPerdata. Dalam Pasal 1181 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai suatu Hipotek yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana pembukuan itu dilakukan, sekalipun jam dilakukan pembukuan itu dicatat oleh pegawai penyimpan Hipotek.



F. BERALIHNYA HAK TANGGUNGAN



Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu hak, konsekuensinya suatu saat akan beralih atau dialihkan kepada pihak yang lain. Hal ini pulalah yang menimpa mengenai Hak Tanggungan, suatu saat akan berpindah ke pihak lain. Hal ini diatur dalam Pasal 16 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie (Cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain.), subrogasi (Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitor), pewarisan, atau sebab-sebab lain (Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain, adalah hal-hal lain selain yang diperinci pada ayat ini, misalnya dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan yang baru).



Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru (ayat (1)). Beralihnya Hak Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan (ayat (2)). Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (ayat (3)). Tanggal pencatatan pada buku-tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya (ayat (4)). Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan (ayat (5)).



Berangkat dari ketentuan Pasal 16 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa, karena beralihnya Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan ini terjadi karena hukum, hal tersebut tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Pencatatan beralihnya Hak Tanggungan ini cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kepada kreditor yang baru.



Sejalan dengan uraian di atas, menurut St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 131)



Ketentuan ini sangat penting bagi praktik perbankan. Dalam praktik perbankan, sering kredit bank, dalam arti sebagai piutang bank, diambil alih oleh bank lain. Dengan kata lain, terjadi penggantian kreditor dengan nasabah debitor yang sama. Hal ini sering pula terjadi dalam hal kredit sindikasi, yaitu peserta sindikasi dari pasar sindikasi perdana (primary market of syndicated loan) menjual penyertaannya kepada peserta sindikasi baru dalam pasar sekunder (secondary market of syndicated loan). Jual beli penyertaan sindikasi kredit tersebut sering terjadi bagi kredit-kredit sindikasi yang berbentuk transferable loan facility. Transaksi penjualan penyertaan sindikasi kredit ini lazim disebut debt sale.



Mencermati ketentuan Pasal 16 di atas, maka akan menimbulkan persoalan baru, yakni berkisar pada praktik perbankan yang sering timbul terjadinya pergantian debitor. Sebab yang dipersoalkan pada Pasal 16 ini, hanya pergantian kreditor (bank) saja. Pertanyaan ini diatur dalam KUH Perdata, ditentukan bahwa terjadinya penggantian debitur dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga novasi (pembaruan utang).

Menurut St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan tidak dapat beralih karena novasi. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perjanjian (lama) berakhir karena dibuatnya perjanjian baru atau novasi. Sementara menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Jadi, karena perjanjian baru yang mengakhiri perjanjian lama, Hak Tanggungan menjadi berakhir pula (ibid, hlm. 132)



Ketentuan dalam Pasal 16 UUHT di atas yang tidak mengatur tentang diperbolehkannya pergantian debitur berpatokan pada Pasal 1422 KUH Perdata yang dinyatakan pergantian debitur tidak mengakibatkan beralihnya Hipotek atas benda milik debitur lama kepada pemilik debitur baru. Apabila pembaruan utang diterbitkan dengan penunjukan debitur baru yang menggantikan debitur lama, maka hak-hak istimewa dan hipotek-hipotek yang dari semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang debitur baru.



Dengan demikian, apabila Hak Tanggungan diberlakukan untuk menjamin utang baru akibat perjanjian novasi tidak dapat dimungkinkan dengan menerapkan Pasal 3 ayat (1) UUHT, sekalipun Pasal 3 ayat (1) dinyatakan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan utang baru, akan tetapi utang yang baru itu harus telah diperjanjikan sebelumnya. Perjanjian novasi yang dikemukakan di atas tidaklah mungkin diperjanjikan sebelumnya.



Untuk mengatasi persoalan di atas, St. Remy Sjahdeini menawarkan konsep dengan menyatakan bahwa:



Untuk mengakomodasi kebutuhan perbankan agar Hak Tanggungan dapat tetap melekat pada kredit (yang bermasalah) yang dialihkan oleh bank kepada pihak lain sebagai debitor baru yang menggantikan debitor yang lama, haruslah penggantian debitor itu ditempuh bukan melalui lembaga novasi. Karena KUH Perdata tidak terdapat yang memungkinkan terjadinya penggantian debitor selain dari novasi, maka harus dibuat perjanjian khusus di antara pihak yang menginginkan terjadinya penggantian debitor itu tanpa mengakhiri perjanjian utang piutangnya. Perjanjian tersebut adalah "Perjanjian Pengambilalihan Utang".



G. PEMBERIAN, PENDAFTARAN, DAN PENCORETAN HAK TANGGUNGAN



Suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan adalah melalui suatu proses pemberian, pendaftaran, dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut.



1. Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan



Tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan, diatur dalam Pasa 1 17 UUHT Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi bukutanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tats cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.



Ketentuan Pasal 17 UUHT di atas menginginkan agar peraturan pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah, akan tetapi yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan sertifikat Hak Tanggungan. Oleh karena itu, peraturan pemerintah yang akan dijadikan jabaran Pasal 17 UUHT ini, misalnya PP Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.



Tata cara pemberian Hak Tanggungan merupakan kunci terjadinya proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Tata cara ini diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut :



Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (ayat 1, 2, dan 3).



Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat(2) di atas, dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) dinyatakan bahwa:



Yang dimaksud dengan hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada, akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Mengingat tanah dengan hak sebagaimana dimaksud di atas pada waktu ini masih banyak, pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit.



Di samping itu, kemungkinan di atas dimaksudkan juga untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya. Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan.



Menurut St. Remy Sjahdeini, ketentuan Pasal 10 ayat (3) itu merupakan keterkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di didalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tanah girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.



Menelaah dengan cermat ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT dan penjelasannya, serta ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka menurut penulis pada tataran hukum formal dimungkinkan untuk menjadikan bukti girik, petuk, dan sejenisnya dijadikan jaminan utang, akan tetapi pada tataran operasional bank sulit menerima tanda bukti tersebut.



Hal inilah yang menjadi permasalahan, sebab dalam kenyataan bank akan menerima tanah yang akan dijadikan agunan kalau tanah tersebut telah memiliki sertifikatnya.



Sementara itu, banyak masyarakat di desa yang memiliki tanah dengan hanya mengandalkan tanda bukti yang bukan merupakan girik, petuk, sebab girik dan petuk hanya dikenal di Pulau Jawa dan Sumatra.



Dengan demikian, yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tersebut, perlu dibuatkan peraturan yang membedakan antara tanda girik dan petuk yang ada di Jawa dan Sumatra dengan yang ada di luar Jawa dan Sumatra tersebut. Dalam artian bahwa di luar Jawa dan Sumatra tanda bukti yang telah diakui oleh masyarakat setempat diterima sama dengan girik dan petuk yang terdapat di Jawa dan Sumatra tersebut.



Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 UUHT di atas, pemberian Hak Tanggungan juga harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan identitas pemegang Hak Tanggungan tersebut. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 11 UUHT dinyatakan bahwa:



Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:



(a) nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan (Apabila Hak Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang-perorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pem i I ik benda tersebut.)



(b) domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih (Dengan dianggapnya kantor PPAT sebagai domisili di Indonesia, bagi pihak yang berdomisili di luar negeri apabila domisili pilihannya tidak disebut di dalam akta, syarat pencantuman domisili pilihan tersebut dianggap sudah dipenuhi).



(c) penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). (penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan)



(d) nilai tanggungan;



(e) uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. (Uraian yang jelas mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan Iuas tanahnya)



Berkaitan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) di atas, maka dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) di atas dinyatakan bahwa:



Ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, balk mengenai objek maupun utang yang dijamin.



2. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan



Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai pemberian Hak Tanggungan, yaitu wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan baigaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Menurut St. Remy Sjahdeini, tata cara pelaksanaan adalah sebagai berikut.



(a) Setelah penandatanganan Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan Akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.



(b) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.



(c) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya:



Dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 13 UUHT di atas, maka teknis pendaftaran mengenai Hak Tanggungan tetap mengacu kepada ketentuan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.



3. Tata Cara Pencoretan Hak Tanggungan



Suatu Hak Tanggungan dapat dilakukan pencoretan apabila tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan telah dihapus. Namun demikian, dalam kaitannya dengan pencoretan Hak Tanggungan, hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:



Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.



Sejalan dengan pencoretan Hak Tanggungan di atas, maka sebelum dilakukannya pencoretan, harus didahului dengan mengajukan pemohonan oleh para pihak kepada Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dinyatakan bahwa:



Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberikan catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.



Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) di atas, bagaimana kalau ada pihak yang berkepentingan tidak mau melakukan pencoretan terhadap Hak Tanggungan. Permasalahan ini dijawab oleh Pasal 22 ayat (5), (6), dan ayat (7) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut.



Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 6). Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (ayat (7)).



H. HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN



Hak Tanggungan akan mengalami suatu proses berakhir, yang sama dengan hak-hak atas tanah yang lainnya. Ketentuan hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:



Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: :



(a) hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;



(b) dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; (c) pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;



(d) hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (ayat (1)). Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (ayat (2)).



Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan (ayat (3)). Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin (ayat (4)).



Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa:



Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan hapus juga.



Selain itu, pemegang Hak Tanggungan melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.



Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan dapat diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.



Sementara itu, hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak



Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut. Pembeli obyek Hak Tanggungan, balk dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT di atas, maka bagaimana penyelesaiannya apabila pemegang Hak Tanggungan tidak mengabulkan permohonan pembeli? Persoalan ini dijawab oleh Pasal 19 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut.



Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara Para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban melebihi harga pembeliannya, pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan pembagian hasil penjualan lelang di antara Para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.



Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 155-156.)



Sekalipun tidak ditentukan secara eksplisit di dalam UUHT mengenai apa yang dapat ditempuh oleh pembeli apabila pemegang Hak Tanggungan dalam hal hanya ada satu Hak Tanggungan yang dibebankan atas objek hak tanggungan ternyata tidak bersedia memberikan persetujuannya (memberikan surat persetujuan) agar benda yang dibeli oleh pembeli itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.



Karena itu, sejalan dengan asas yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) UUHT, pembeli dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk melakukan pembersihan yang dimaksud, maka bila cara ini tidak dimungkinkan untuk ditempuh, sudah barang tentu tidaklah mungkin terjadi pembelian di dalam pelelangan dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan itu (pelelangan umum tidak ada pembelinya). Siapa yang akan ikut menjadi pembeli dari pelelangan umum mengingat sudah menjadi kenyataan di dalam praktik, bahwa harga penjualan pelelangan umum sering tidak dapat terjadi pada harga nilai pasar dari objek Hak Tanggungan itu. Pembeli lelang selalu ingin memperoleh kesempatan membeli dengan harga murah (di bawah harga pasar).



Beranjak dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) di atas, khusus untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai untuk rumah tempat tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1996 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik.



Sehubungan dengan ketentuan ini, berlaku ketentuan sebagaimana disebut di bawah ini.



(1) Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.



(2) Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan hapus.



(3) Kepala Kantor Pertahanan karena jabatannya mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.



(4) Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.



(5) Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.



Berdasarkan ketentuan PNMA/KBPN tersebut, secara hukum hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik tersebut dilakukan. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang Hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik di daftar, Hak Tanggungan menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. (Ibid, hlm. 157-158)



1. HARTA KEPAILITAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN



Suatu masalah yang sering kali timbul adalah posisi pemegang Hak Tanggungan akibat pemberi Hak Tanggungan mengalami pailit. Masalah ini telah diatur dalam Pasal 21 UUHT yang menyatakan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini.



Berkaitan dengan posisi pemegang Hak Tanggungan terhadap pailitnya pemberi Hak Tanggungan, maka kedudukan pemegang Hak Tanggungan akibat jatuh pailitnya pemberi Hak Tanggungan selanjutnya diatur oleh UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (sebagaimana diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Dalam Pasal 56A UU Kepailitan tersebut dinyatakan hak preferen dari kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaannya untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Meskipun ditangguhkan eksekusinya, hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindah-tangankan oleh kurator. Harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan kebendaan.



Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 56A di atas, dalam penjelasan Pasal 56A dinyatakan bahwa:



Maksud penangguhan ini bertujuan antara lain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit, atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh Pelunasan atas suatu piutang tidak dapat dijatuhkan dalam sidang peradilan, dan balk kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan.



Sebagaimana diketahui bahwa Hak Tanggungan bertujuan untuk menj am in utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cedera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh Pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 164.)



Untuk menjaga jangan sampai penjualan tersebut tidakfair, maka penjualan atas hak yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan tersebut dilakukan secara lelang. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang pada prinsipnya menyatakan: objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tats cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.



Berkaitan dengan penjualan jaminan benda di mans pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan hak istimewa untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut, ketentuan ini didasarkan Pasal 6 UUHT yang menyatakan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.



Selain pemegang pertama pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut di pelelangan umum, pemegang Hak Tanggungan pertama juga mendapatkan hak untuk melakukan penjualan di bawah tangan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.



Berkaitan dengan penjualan objek Hak Tanggungan dilakukan di bawah tangan di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan (Ibid, hlm. 165)



Karena penjualan di bawah tangan dari objek Hak tanggungan hanya dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin-melakukan penjualan di bawah tangan dari objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya.



Berkaitan dengan masalah diperbolehkannya pemegang Hak Tanggungan melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan di bawah tangan, timbul persoalan, bagaimana kalau kredit yang dijamin dengan agunan macet, langkah apa yang dilakukan oleh bank? St. Remy Sjandeini berpendapat (Ibid, hlm. 166) :



Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, bankpada waktu kredit diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.

PERATURAN PEMERINTAH R.I NO :11 TAHUN 2010 TTNG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR

Menimbang:a. bahwa berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah hapus antara lain karena diterlantarkan;



b. bahwa saat ini penelantaran tanah makin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraanrakyat serta menurunkan kualitas lingkungan, sehingga perlu pengaturan kembali penertiban danpendayagunaan tanah terlantar;



c. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar, tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantarsehingga perlu dilakukan penggantian;



d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlumenetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.



Mengingat:1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor2043);



3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yangBerkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632);



4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);



5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);



6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2004 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);



7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang PerubahanKedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4844);www.hukumonline.com2 / 128. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);9. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5068);10. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan HakPakai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58, Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3643);11. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan AntaraPemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4737).



MEMUTUSKAN:



Menetapkan:PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR.



BAB IKETENTUAN UMUM



Pasal 1



Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai adalah hak atas tanah sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

2. Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagiandilimpahkan kepada pemegangnya.

3. Dasar penguasaan atas tanah adalah izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadidasar bagi orang atau badan hukum untuk menguasai, menggunakan, atau memanfaatkan tanah.

4. Pemegang Hak adalah pemegang hak atas tanah, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemegangizin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah.

5. Kepala adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.6. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional.



BAB II OBYEK PENERTIBAN TANAH TERLANTAR



Pasal 2



Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yangtidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuanpemberian hak atau dasar penguasaannya.



Pasal 3



Tidak termasuk obyek penertiban tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:

a. tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidakdipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan



b. tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatusmaupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan sesuaidengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.



BAB III DENTIFIKASI DAN PENELITIAN



Pasal 4



(1) Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang terindikasi terlantar.

(2) Data tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan identifikasi dan penelitian.



Pasal 5



(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilaksanakan oleh Panitia.

(2) Susunan keanggotaan Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Badan PertanahanNasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala.



Pasal 6



(1) Identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilaksanakan:

a. terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,Hak Pakai; atau

b. sejak berakhirnya izin/keputusan/surat dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.



(2) Identifikasi dan penelitian tanah terlantar meliputi:

a. nama dan alamat Pemegang Hak;

b. letak, luas, status hak atau dasar penguasaan atas tanah dan keadaan fisik tanah yang dikuasaiPemegang Hak; dan

c. keadaan yang mengakibatkan tanah terlantar.



Pasal 7



(1) Kegiatan identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 meliputi:

a. melakukan verifikasi data fisik dan data

b. mengecek buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui keberadaanpembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah padasaat pengajuan hak;

c. meminta keterangan dari Pemegang Hak dan pihak lain yang terkait, dan Pemegang Hak dan pihaklain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau menyampaikan data yang diperlukan;

d. melaksanakan pemeriksaan fisik;

e. melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;

f. membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;g. menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian;

h. melaksanakan sidang Panitia; dani. membuat Berita Acara.



(2) Panitia menyampaikan laporan hasil identifikasi, penelitian, dan Berita Acara sebagaimana dimaksudpada ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah.



BAB IV PERINGATAN



Pasal 8

(1) Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) disimpulkan terdapat tanah terlantar, maka Kepala Kantor Wilayah memberitahukan dan sekaligusmemberikan peringatan tertulis pertama kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulansejak tanggal diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurutsifat dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

(2) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KepalaKantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kedua dengan jangka waktu yang sama denganperingatan pertama.

(3) Apabila Pemegang Hak tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KepalaKantor Wilayah memberikan peringatan tertulis ketiga dengan jangka waktu yang sama denganperingatan kedua.

(4) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaporkan oleh Kepala KantorWilayah kepada Kepala.

(5) Dalam hal tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang dibebani dengan HakTanggungan, maka surat peringatan tersebut diberitahukan juga kepada pemegang Hak Tanggungan.

(6) Apabila Pemegang Hak tetap tidak melaksanakan peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),Kepala Kantor Wilayah mengusulkan kepada Kepala untuk menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.



BAB V PENETAPAN TANAH TERLANTAR



Pasal 9



(1) Kepala menetapkan tanah terlantar terhadap tanah yang diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).



(2) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, penetapan tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum sertaditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.



(3) Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan dasarpenguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, penetapan tanah terlantarsebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga pemutusan hubungan hukum serta penegasansebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.



Pasal 10



(1) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabilamerupakan keseluruhan hamparan, maka hak atas tanahnya dihapuskan, diputuskan hubunganhukumnya, dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.



(2) Tanah yang ditetapkan sebagai tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), apabilamerupakan sebagian hamparan yang diterlantarkan, maka hak atas tanahnya dihapuskan, diputuskanhubungan hukumnya dan ditegaskan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan selanjutnyakepada bekas Pemegang Hak diberikan kembali atas bagian tanah yang benar-benar diusahakan,dipergunakan, dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya.



(3) Untuk memperoleh hak atas tanah atas bagian tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bekasPemegang Hak dapat mengajukan permohonan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.



Pasal 11



(1) Apabila tanah hak yang diterlantarkan kurang dari atau sama dengan 25% (dua puluh lima persen), makaPemegang Hak dapat mengajukan permohonan revisi luas atas bidang tanah yang benar-benardigunakan dan dimanfaatkan sesuai dengan keputusan pemberian haknya.



(2) Biaya atas revisi pengurangan luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pemegang Hak.



Pasal 12



(1) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quosejak tanggal pengusulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6).



(2) Tanah yang dinyatakan dalam keadaan status quo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapatdilakukan perbuatan hukum atas bidang tanah tersebut sampai diterbitkan penetapan tanah terlantar yangmemuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah, sekaligus memutuskan hubungan hukum sertaditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.



Pasal 13



(1) Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejakditetapkannya keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak atasbenda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan



(2) Apabila bekas Pemegang Hak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), makabenda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya, dan dikuasai langsung oleh Negara.Pasal 14Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penertiban tanah terlantar diatur dalam Peraturan Kepala.



BAB VI PENDAYAGUNAAN TANAH NEGARA BEKAS TANAH TERLANTAR



Pasal 15



(1) Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria dan program strategis negara serta untuk cadangan negara lainnya.



(2) Peruntukan dan pengaturan peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala.



Pasal 16



Terhadap tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang berhubungan dengan penguasaan danpenggunaannya tidak boleh diterbitkan izin/keputusan/surat dalam bentuk apapun selain yang ditetapkan dalam Pasal 15.



Pasal 17



Pelaksanaan penertiban tanah terlantar dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar dilakukan olehKepala dan hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Presiden.



BAB VII KETENTUAN PERALIHAN



Pasal 18



Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap tanah yang telah diidentifikasi atau diberiperingatan sebagai tanah terlantar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentangPenertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ditindaklanjuti sesuaidengan Peraturan Pemerintah ini.



BAB VIII KETENTUAN PENUTUP



Pasal 19



Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentangPenertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan peraturan pelaksanaannya dicabut dan dinyatakan tidakberlaku.



Pasal 20



Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan Di Jakarta,Pada Tanggal 22 Januari 2010

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan Di Jakarta,Pada Tanggal 22 Januari 2010



MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

PATRIALIS AKBARLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 16



PENJELASANPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTARI.



UMUM



Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harusdiusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Saat ini tanahyang telah dikuasai dan/atau dimiliki baik yang sudah ada hak atas tanahnya maupun yang baru berdasarperolehan tanah di beberapa tempat masih banyak dalam keadaan terlantar, sehingga cita-cita luhuruntuk meningkatkan kemakmuran rakyat tidak optimal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembaliuntuk mewujudkan tanah sebagai sumber kesejahteraan rakyat, untuk mewujudkan kehidupan yang lebihberkeadilan, menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia, sertamemperkuat harmoni sosial. Selain itu, optimalisasi pengusahaan, penggunaan, dan pemanfaatan semuatanah di wilayah Indonesia diperlukan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mengurangikemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, serta untuk meningkatkan ketahanan pangan dan energi.Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidakekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan,serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak ataupihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak padaterhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan danketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani padatanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial.Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan,dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi PemegangHaknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Ketika Negaramemberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkandalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan suratkeputusan pemberian haknya. Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibathukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum sertaditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Bagi tanah yang belum ada hak atastanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya, penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengansesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4 juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperolehdasar penguasaan atas tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperolehpenunjukan dari pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperolehkeputusan pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya denganbaik, tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah.Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya makahubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan sebagai tanahyang dikuasai langsung oleh Negara.Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapusdampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantarmerupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional,terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.



II. PASAL DEMI PASAL



Pasal 1 Cukup jelas.



Pasal 2



Tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, atau Hak Pengelolaandinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidakdimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasarpenguasaannya dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidakdipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam izinlokasi, surat keputusan pemberian hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalamizin/keputusan/surat lainnya dari pejabat yang berwenang.



Pasal 3



Huruf aYang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena Pemegang Hak perseorangan dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian haknya.Huruf bYang dimaksud dengan “tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuanpemberian haknya” dalam ketentuan ini adalah karena keterbatasan anggaran negara/daerah untukmengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuanpemberian haknya.



Pasal 4



Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tanah yang terindikasi terlantar” adalah tanah hak atau dasar penguasaan atastanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atausifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi danpenelitian. Untuk memperoleh data tanah terindikasi terlantar dilaksanakan kegiatan inventarisasi yanghasilnya dilaporkan kepada Kepala.



Ayat (2)Cukup jelas.



Pasal 5 Cukup jelas



Pasal 6 Cukup jelas.



Pasal 7 Cukup jelas.



Pasal 8



Ayat (1)



Dalam surat peringatan pertama perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan olehPemegang Hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidakmelaksanakan peringatan dimaksud.



Ayat (2)



Dalam surat peringatan kedua, setelah memperhatikan kemajuan dari surat peringatan pertama,menyebutkan kembali hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dan sanksi yang dapatdijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakan peringatan dimaksud.



Ayat (3)



Dalam surat peringatan ketiga yang merupakan peringatan terakhir, setelah memperhatikan kemajuandari surat peringatan kedua, menyebutkan hal-hal konkret yang harus dilakukan oleh Pemegang Hak dansanksi yang dapat dijatuhkan apabila Pemegang Hak tidak mengindahkan atau tidak melaksanakanperingatan dimaksud.



Ayat (4) Cukup jelas.



Ayat (5) Cukup jelas.



Ayat (6) Cukup jelas.



Pasal 9 Cukup jelas.



Pasal 10 Cukup jelas.



Pasal 11Cukup jelas



Pasal 12 Cukup jelas.



Pasal 13 Cukup jelas.



Pasal 14 Cukup jelas.



Pasal 15



Ayat (1)



Tanah negara bekas tanah terlantar merupakan tanah cadangan umum negara yang didayagunakanuntuk kepentingan masyarakat dan negara, melalui reforma agraria dan program strategis negara sertauntuk cadangan negara lainnya.Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukumpertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuaidengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia NomorIX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset masyarakatdan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negarabekas tanah terlantar.Program strategis negara antara lain untuk pengembangan sektor pangan, energi, perumahan rakyatdalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Cadangan negara lainnya antara lain untuk memenuhi kebutuhan tanah untuk kepentingan pemerintah,pertahanan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukimankembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.



Ayat (2) Cukup jelas.



Pasal 16 Cukup jelas.



Pasal 17 Cukup jelas.



Pasal 18 Cukup jelas.



Pasal 19 Cukup jelas.



Pasal 20 Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5098

Kamis, 23 September 2010

KONTRADIKSI TERHADAP ASAZ PEMBUKTIAN TERBALIK

Asas pembuktian terbalik sempat mencuat dan menjadi perdebatan panjang dimasa Pemerintahan Gus Dur (Wong Asli Jombang ). Ketika itu, Gus Dur mengajukan draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) mengenai pembuktian terbalik, dalam penanganan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun berbagai kalangan merasa pesimis, akibat anggapan bahwa asas pembuktian terbalik melanggar hak-hak dasar seseorang yang dibentengi oleh asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Meski disambut terbuka dari berbagai pihak, namun Perpu ini akhirnya dibatalkan. Upaya yang sama juga pernah dilakukan oleh KPK. Untuk mempercepat pemberantasan korupsi, KPK mengusulkan penggunaan asas pembuktian terbalik pada tahun 2004 silam. Akan tetapi, hingga saat ini usulan tersebut kunjung tidak terealisasi. Banyak factor yang kemudian menjadi hambatan dalam upaya memasukkan mekanisme pembuktian terbalik dalam system hukum kita, antara lain :



Pertama, bahwa kewajiban beban pembuktian terbalik, tidaklah dikenal dalam system hukum kita. Celah untuk menggunakan asas pembuktian terbalik, telah dikunci rapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kita. Pada pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Dengan demikian, seseorang yang telah disangkakan telah melakukan tindak pidana, tidak memiliki kewajiban untuk melakukan beban pembuktian terbalik.



Kedua, Penggunakan asas pembuktian terbalik, dianggap melanggar hak-hak dasar seseorang. Terlebih jika hal tersebut dikaitkan dengan asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah. Dalam kovenan internasional, hal tersebut juga telah dinyatakan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik). Dalam arti, ICCPR tersebut menjamin sepenuhnya hak seseorang untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum terbukti secara hukum (non self incrimination). Pasal 14 Ayat (3) huruf g ICCPR menyebutkan bahwa, “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah”.



Ketiga, adanya problematika hukum, yakni meski celah untuk memberlakukan asas pembuktian terbalik, terdapat pada sejumlah klausul Undang-undang kita, namun secara universal berlaku asas hukum “lex superior derogat legi inferiori” atau peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah, harus tunduk kepada peraturan hukum yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain, peraturan tersebut tidak boleh melanggar ketentuan yang berada diatasnya. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 7 ayat (1), menyebutkan bahwa, jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri dari : UUD 45, UU/Perpu, PP, Perpres dan Peraturan Daerah. Dengan demikian, aturan dalam bentu apapun untuk mengakomodasi asas pembuktian terbalik, akan dipersoalkan sebab melanggar ketentuan UUD 45 sebagai dasar tertinggi dalam penyelenggaraan hukum Negara kita.

PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA DARI PASAL 183 KUHAP DIHUBUNGKAN PULA DENGAN PENGERTIAN DARI BARANG BUKTI

Latar Belakang Masalah

Kepolisian dan Kejaksaan merupakan suatu alat Negara dibidang Penegakan Hukum, sedangan Lembaga Peradilan yang Pengadilan adalah merupakan suatu pelaksana dari suatu Per Undang-unadang yang ada Di suatu Negara, Perundang-undangan adalah suatu peraturan yang berisi tentang larang maupun perintah dimana hal tersebut dikuti pula dengan adanya beberapa sanksi, Perundang-undangan adalah merupakan Produk dari Pemerintaha beserta DPR, DPRD. Selain Perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang larangan dan / atau perintah ( Mis. KUHP, UU Korupsi, UU Perlindungan Anak, Perda dll ), ada juga produk lain yang mengatur bagaimana cara menjalankan Undang-undang dimaksud, salah satunya lajim disebut dengan KUHAP ( KItab Undang-undang Hukum Acara Pidana ), HIR dll.,

Sebagai dasar pelaksana Penegakan Hukum, baik itu pihak Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Peradilan, mereka mempunyai fisi dan misi yang sama yaitu ining menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Dalam menjalankan Undang-undang yang merupakan dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara serta pandangan hidup bangsa, agar dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Oleh karenanya Undang-undang itu dapatlah dijalankan oleh Penegak Hukum jika ditunjang dengan adanya peraturan yang mengatur bagaimana para penegak hukum tersebut menjalankannya Undang-undang dimaksud, agar tidak terjadi suatu pelanggaran atau manipulasi kebenaran terhadap penegak Hukum itu sendiri. KUHAP telah mengatur bagaimana para penegak Hukum itu dalam menjalankan Undang-undang mis KUHP, khususnya dalam hal pembuktian perkara Pidana.

Maksud dan tujuan diterbitkannya KUHAP adalah sebagai dasar hukum bagi para penegak Hukum maupun pelaksana undang-undang dalam hal ini Hakim agar dapat mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.

Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.

Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.

Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, dimana dalam pasal tersebut diuraikan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.



Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :



1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.

Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.



Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.



Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.

Mengenai alat-alat bukti ini sebelum KUHAP diatur didalam Pasal 295 R.I.D yang isinya adalah :

1. kesaksian-kesaksian,

2. surat-surat,

3. pengakuan, dan

4. petunjuk-petunjuk.



Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.



Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan.



Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak perlunya pembuktian tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya ?.



Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu sendiri tidak ada. Dengan demikian ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut wajib terpenuhi keduanya.



Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi Hakim haruslah memperoleh dari bukti yang diajukan dimuka persidangan dimana bukti-bukti tersebut telah ketentuan yang ada pada pasal 183 KUHAP dan yang terpenting adanya persesuai antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya ditambah dengan adanya keyakinan bahwa perbuatan tersebut benar-benar terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya. Alat bukti dimaksud juga harus dikatakan sah jika dihadapkan dimuka persidangan ketika acara pemeriksaan dilaksanakan di pengadilan, mengapa demikian, karena tidak jarang barang butki yang telah disita oleh penyidik namun ketika dipersidangan tidak diajukan sebagai alat bukti, namun demikian Hakim tetap mempertimbangkannya, ini merupakan kesalahan fatal dalam sistem pembuktian menurut KUHAP kita.



Dari beberpa alat-alat bukti yang sah dapat pula diseusaikan dengan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.



Apabila hakim dari alat-alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan. Dengan demikian walaupun lebih dari dua orang saksi menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang telah melakukan tindak pidana, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, jika hakim tidak yakin bahwa ia dengan kesaksian oleh lebih dari dua orang saksi tersebut benar-benar dapat dipercaya dan oleh karena tujuan dari proses pidana adalah untuk mencari kebenaran materil, maka hakim akan membebaskan terdakwa dalam hal ini.



Dari sini haruslah diingat bahwa keyakinan hakim tersebut bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi haruslah timbul dari alat-alat bukti yang sah yang telah disebutkan didalam Undang-undang, dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat di pertanggung jawabkan suatu keputusan walaupun sudah cukup alat-alat bukti yang sah hakim begitu saja mengatakan bahwa ia tidak yakin dan karena itu ia membebaskan terdakwa, tampa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebab ia tidak yakin. Keyakinan Hakim disini tidak saja terhadap alat-alat bukti yang di tentukan didalam Pasal 184 KUHAP saja tetapi adanya peranan dari barang-barang bukti yang di temukan di tempat kejadian perkara seperti pisau atau peluru yang dipakai untuk membunuh dan mencelakai orang lain, sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) yang berhubungan dengan barang bukti sebagai hasil dari penyitaan dan barang-barang yang dapat disita yang dilakukan penyidik dalam menjalankan fungsinya.



Jadi walaupun barang bukti tidak diatur didalam Pasal 183 KUHAP atau didalam pasal tersendiri didalam KUHAP sebagai salah satu syarat dalam pembuktian namun barang bukti menurut saya mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal juga bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian.

Dari uraian dan konsep-konsep yang dikemukakan di atas akan timbul pertanyaan, kenapa hakim sampai membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum, sementara segala bukti yaitu yang berasal dari alat-alat bukti yang sah telah mencukupi bukti minimum. Atau sebaliknya hakim dapat menghukum seseorang yang kalau dilihat dari sudut yuridis, kenyataannya tidak bersalah. Jadi secara fungsional kegunaan barang-barang bukti dalam suatu pembuktian pidana adalah ada hubunannya dengan alat-alat bukti dan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian pidana di Indonesia sehingga timbulnya suatu putusan hakim (sentencing) yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran Materil.



Dari urain diatas, akhirnya timbulah keinginan saya untuk mengetahui lebih jauh tentang : “PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA DARI PASAL 183 KUHAP DIHUBUNGKAN PULA DENGAN PENGERTIAN DARI BARANG BUKTI.”



B. Perumusan Masalah



Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, dapat di kemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peranan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana pada saat pemeriksaan terdakwa di Pengadilan ?
2. Bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta apakah yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang bukti dalam dalam pembuktian perkara pidana dipengadilan ?
3. Bagaimanakah status barang bukti setelah adanya putusan hakim ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah peranan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah tahapan-tahapan pengumpulan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik serta kendala-kendala dalam peninjuan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana di Pengadilan?
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan status barang bukti setelah adanya putusan hakim.

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari catatan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis
1. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan yang diharapkan dapat diterima sebagai sumbangan pemikiran serta menambah bahan bacaan dipribadi maupun pihak yang memerlukan pengetahuan tentang hukum
2. Menerapkan teori-teori hukum yang dipernah kita terima dibangku perkuliahan serta menghubungkannya dengan praktek di lapangan.
3. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang hukum yang pada akhirnya dapat sebagai leteratur dalam perpustakaan pribadi khususnya dibidang hukum Pidana.

1. Manfaat Praktis

Sebagai bahan bacaan pribadi tentang ilmu Hukum dikala kita sedang santai dan membutuhkan.



C. Kerangka Teoritis dan kerangka konseptual



Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang masih menganut sistem pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara pidana di Indonesia yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materil dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu masyarakat.



Hal ini haruslah dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat, yaitu aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, serta menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.



Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP.



Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya pembuktian didalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia.

Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya didalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.



Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca didalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman sebagai berikut : “ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.”



Prinsip batas minimal pembuktian yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain, hal ini merupakan batasan pembuktian yang lebih ketat dari pada dahulu yang di atur di dalam HIR yaitu pada Pasal 292 sampai dengan Pasal 322 tentang permusyawaratan, bukti dan putusan hakim, hal ini sangat berdampak pada suasana penyidikan yang tidak lagi main tangkap dulu baru nanti di pikirkan pembuktian, namun metode kerja penyidik menurut KUHAP haruslah di balik yaitu lakukan penyidikan dengan cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti yakni alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan termasuk bukti lain yang berasal dari barang-barang bukti hasil kejahatan.



Dari bukt-bukti tersebut baru dilakukan pembuktian.

Mengenai barang-barang bukti yang dimaksud yaitu diatur didalam Pasal 39 KUHAP tentang apa apa yang dapat dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti tersebut yang dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri (guilty or not guilty). Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya adanya pemeriksaan barang bukti di pengadilan guna mengungkapkan suatu peristiwa pidana.



Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. Pembuktian ini juga diatur di dalam aturan yang dahulu diatur HIR pada Pasal 294 yaitu sebagai berikut :“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”



Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa didalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkata pidana.

“Menurut Subekti, ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, diperbolehkan menyandarkan putusan hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti”



Barang Bukti

“Barang bukti : benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang di tuduhkan.”



Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.[9]

“M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”



Pidana

“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tindak pidana.”



Hukum Pembuktian

“keseluruhan aturan atau peraturan Undang-undang mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap saran bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.”



Hukum pembuktian dalam arti luas adalah keseluruhan hukum yang mengatur proses pembuktian suatu kasus pidana berdasarkan alat-alat bukti menurut Undang-undang dan barang bukti yang ditemukan. Sedangkan hukum pembuktian dalam arti sempit adalah keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian suaru kasus pidana didepan pengadilan berdasarkan alat bukti menurut undang-undang dan barang bukti yang ada



Putusan hakim

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP adalah :

“Putusan pegadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur didalam Undang-undang”.



Penulisan ini bersifat yuridis sosiologis (Sosiologis Research). Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini berupa pendekatan Undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual.



Menekankan praktek dilapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melalui norma-norma yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat.



Catatan ini juga bersifat Deskriptif, yaitu memberikan data tentang sesuatu atau gejala-gejala sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sehingga dengan fakta ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis tentang praktek penegakan hukum yang sebenarnya.

Sabtu, 21 Agustus 2010

MENIKAH SIRI, HATI-HATI WANITA YANG RUGI

Secara hukum, bagaimana kedudukan dan hak sebagai seorang wanita jika menikah siri?
Menurut Ahmad Dhani, 'nikah siri is the best!', tapi bagi wanita akankah pernikahan siri juga yang terbaik? Pernikahan siri (lazim disebut pernikahan di bawah tangan) dilakukan di hadapan ustaz atau ulama, namun pernikahan ini tidak dicatat pegawai Kantor Urusan Agama (Pegawai Pencatat Pernikahan).

Menurut situs sholahuddin, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan, maka anda bisa terjerat delik pidana baik itu pasL 284 maupun pasal 279Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
1. Anda bisa kehilangan atau tidak dapat sepenuhnya hak-hak yang seharusnya bila jadi istri sah secara hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan penghidupan untuk anak Anda kelak.

2. Seandainya terjadi perpisahan, Anda tidak berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.

3. Seandainya pasangan meninggal dunia, Anda tidak berhak mendapatkan warisan, begitu juga anak Anda. Karena, anak yang dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.

4. Anda pun dapat dikenakan pidana. Istri sah dari kekasih Anda bisa saja melaporkan Anda dan suaminya (kekasih Anda) telah melakukan tindak pidana kejahatan dalam perkawinan (pasal 279 (1) KUHP) atau tindak pidana perzinaan (pasal 284 ayat (1e,b)

Sabtu, 14 Agustus 2010

DAMPAK PEKERJAAN ORANG TUA BAGI ANAK

Ibu Bekerja & Dampaknya bagi Perkembangan Anak

Salah satu dampak krisis moneter adalah bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga...akhirnya kalau biasanya hanya ayah yang bekerja sekarang ibupun ikut bekerja.

Ibu yang ikut bekerja mempunyai banyak pilihan. Ada ibu yang memilih bekerja di rumah dan ada ibu yang memilih bekerja di luar rumah. Jika ibu memilih bekerja di luar rumah maka ibu harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi jika ibu mempunyai anak yang masih kecil atau balita maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia 0-5 tahun masih sangat tergantung dengan ibunya. Karena anak usia 0-5 tahun belum dapat melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi, belajar, dan sebagainya. Mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak itu dititipkan pada seorang pembantu maka orang tua atau khususnya ibu harus tahu betul bahwa pembantu tersebut mampu membimbing dan membantu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya. Kalau pembantu ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian.

Pembentukan kepribadian seorang anak dimulai ketika anak berusia 0-5 tahun. Anak akan belajar dari orang-orang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Anak yang berada di lingkungan orang-orang yang sering marah, memukul, dan melakukan tindakan kekerasan lainnya, anak tersebut juga akan bertumbuh menjadi pribadi yang keras. Untuk itu ibu atau orang tua harus bijaksana dalam menitipkan anak sewaktu orang tua bekerja.

Kadang-kadang hanya karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak yang negatif bagi pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya. Seperti kasus-kasus kenakalan remaja, keterlibatan anak dalam dunia narkoba, dan sebagainya bisa jadi karena pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak yang tidak terbentuk dengan baik.

Untuk itu maka ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memang sangat mulia, tetapi tetap harus diingat bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Ibu yang harus berangkat bekerja pagi hari dan pulang pada sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi, bercanda, memeriksa tugas-tugas sekolahnya meskipun ibu sangat capek setelah seharian bekerja di luar rumah. Tetapi pengorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika melihat anak-anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang kuat dan stabil.

Sedangkan untuk ibu yang bekerja di dalam rumahpun tetap harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana.

Tetapi tugas tersebut tentunya bukan hanya tugas ibu saja tetapi ayah juga harus ikut menolong ibu untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga sehingga keutuhan dan keharmonisan rumah tanggapun akan tetap terjaga dengan baik.

(sumber: iqeq.web.id)

Kamis, 05 Agustus 2010

PENGKAJIAN DALAM PERUMUSAN SUATU PERBUATAN PIDANA

Dalam buku II dan III KUHP disitu di jumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan berserta sangsi pidanya, hal ini dimaksudkan untuk menunjukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang untuk dilakukan. Maksud dari pengertian tersebut agar dapat di capai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi cirri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dapat di bedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang.
Dalam suatu delik Pencurian misalanya, unsur-unsur pokok sudah ditentukan yaitu mengambil barang orang lain, tetapi tidak tiap-tiap mengambil barang orang lain dapat secara otomatis dikatan melanggar pasal 362 KUHP, karena dalam pasal 362 KUHP disamping unsur-unsur tadi, ditambah dengan elemen lain yaitu dengan maksud untuk dimilikinya secara melawan hukum.
Adapun cara untuk mengupas perbuatan yang dilarang menjadi beberapa elemen atau unsur suatu delik seperti tersebut diatas, tidak dapat dilakukan begitu saja, karena ada kalanya hal itu disebabkan karena pengupasan semacam itu belum mungkin, atau dianggap kurang baik pada saat membuat aturan, sehingga pengertian yang umum dari perbuatan yang dilarang saja yang dicantumkan dalam rumusan delik, sedangkan batas-batasnya pengertian tadi diserahkan pada ilmu pengetahuan dan praktek pengadilan.
Contoh kasus dari pengertian cara tersebut diatas adalah pasal 351 KUHP yaitu penganiayaan dan pasal 297 yaitu perdagangan wanita ( vrouwen handel ).
Mengenai penganiayaan dalam teori pengertian tersebut telah dikupas menjadi menimbulkan nestapa ( leed ) atau rasa sakit ( pijin ) pada orang lain.
Tapi mengenai perdagangan wanita, batas-batas pengertiannya hingga sekarang belum di ketemukan, karena hanya di tentukan pengertian umum saja, maka cara merumuskan perbuatan pidana semacam ini, dikatakan memberi kualifikasinya perbuatan saja.
Dalam KUHP selain dari menentukan unsur-unsur dari perbuatan yang dilarang disitu juga diberi kualifikasi perbuatan.
Misalnya pada pasal 362 dan 480 tadi, disamping penentuan elemen-elemenya juga ditentukan bahan kualifikasinya adalah “pencurian” dan “penadahan”.
Berkaitan dengan cara yang demikian ini, maka diajukan persoalan, apakah dalam hal yang demikian, kualifikasi harus dipandang sebagai suatu singkatan atau kata pendek bagi perbuatan yang dirumuskan didalam pasal tersebu ?, ataukah juga mempunyai arti sendiri, lepas dari penentuan unsur-unsur, sehingga ada dua batasannya untuk perbuatan yang dilarang ?, yaitu
1. Batasan menurut unsur-unsurnya dan ;
2. menurut pengertian yang umum (kualifikasi).
Dalam pengertian Memorie van Tpelichting ( MvT ) tidak ada keraguan-keraguan bahwa maksud pembuat undang-undang dengan mengadakan kualifikasi disamping penentuan unsur-unsur, hal ini hanya sekedar untuk memudahkan penyebutan perbuatan yang dilarang saja.
Seperti laksana suatu etikat untuk apa yang terkandung dalam rumusan, akan tetapi, demikian Van Hattum dalam praktek peradilan ada tendens atau gelagat untuk memberi arti tersendiri kepada kualifikasi.
Misalnya dalam putusan Hoog Raad tahun 1927 mengenai penadahan dimana diputuskan bahwa pencuri yang menjual barang yang dicuri menarik keuntungan, tak mungkin dikenai pasal tentang penadahan, sekalipun dengan apa yang diperbuatnya itu.
Semua unsur-unsur yang ada dalam pasal 480 telah dipenuhi. sebab pasal ini maksudnya adalah untuk mempermudah dilakukannya kejahatan lain.
Perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dari orang yang melakukan kejahatan lain, dan dari mana barang tadi didapatnya. Juga dalam teori, hal itu menjadi persoalan.
Kalau ada orang lain yang kecurian sesuatu barang, kemudian orang tadi pergi ke tempat pasar loak, dan ternyata ia melihat barangnya ada disitu kemudian ia membeli barangnya tadi, apakah orang itu juga dapat di tuntut karena pasal 480 ?
Menurut unsur-unsurnya, perbuatanya masuk dalam pasal tersebut, dia membeli barang yang diketahuinya berasal dari kejahatan ( kerena sudah jelas-jelas ia mengetahui kalau barang yang dibeli itu adalah miliknya sendiri yang hilang karena dicuri orang ), akan tapi bertalian dengan persoalan tersebut, ada juga yang mengatakan : bahwa orang tadi sesungguhnya tidak “membeli“ barang tersebut, sebab itu adalah barangnya sendiri, sehingga tidak mungkin dinamakan penadahan. Jadi tidak masuk dalam kualifikasi pasal 480 KUHP, sekalipun unsur-unsur telah dipenuhi .
Jika sifat melawan hukum itu adalah unsur mutlak dari tiap-tiap delik, dan sifat melawan hukum itu dipandang secara material, lalu apa artinya ?, hal inilah merupakan tugas Hakim Hakim untuk mengkaji dan menelaah atas kasus dimaksud.
Sedikit akan saya coba ambil narasai dari suatu delik misalnya dalam pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk memindahkan penguasan barang yang telah dicuri, dalam kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”, dan akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formularing dalam pencarian.
Biasanya yang dianggap delik material adalah misalnya penganiayaan (pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (pasal 338) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh.
Perlu diajukan pula, adanya rumusan-rumusan yang formal-material, artinya disitu yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tapi juga akibatnya.
Contohnya adalah pasal 378 KUHP yaitu penipuan, akibatnya yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu, mengingatkan pada rumusan yang material. meskipun demikian tidak tiap-tiap cara untuk menggerak hati orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal 378, disini terang ada rumusan formal.
Pertanyaannya mengenai perumusan delik saja, apakah perlunya diadakan perbedaan ?
jawabanya adalah oleh karena perbedaan perumusan itu disatu pihak mempunyai konsenkuensi lain dalam pembuktian ; dipihak lain, bertalian dengan yang pertama berlainan juga pengaruhnya kepada masyarakat, apakah suatu perbuatan yang perlu dilarang dengan sangsi pidana dirumuskan secara formil atau materil ?, hal ini ternyata dalam sejarah pasal 154 KUHP yang dulunya dirumuskan secara material, dan kemudian untuk memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.