PEJUANG KEADILAN

Kamis, 29 Juli 2010

PELAKSANAAN PUTUSAN / EKSEKUSI

A. Pengertian Pelaksanaan Putusan

Pelaksanaan putusan / eksekusi adalah putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) .

Pelaksanaan putusan hakim dapat :

a. Secara suka rela, atau
b. Secara paksa yg dilaksanakan oleh Jurusita Pengadilan bila perlu dengan bantuan alat Negara/Polisi, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara suka rela.

Putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh Pengadilan.

Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian kepala keputusannya berbunyi : “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.

B. Putusan Yang Dapat Dieksekusi

Putusan yang dapat dieksekusi adalah yang memenuhi syarat-syarat untuk dieksekusi, yaitu :

1. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal:

a. Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dulu
b. Pelaksanaan putusan provisionil
c. Pelaksanaan Akta Perdamaian
d. Pelaksanaan (eksekusi) Grose akta

2. Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun ia telah diberi peringatan (aan maning) oleh Ketua Pengadilan Agama

3. Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir

Putusan yang bersifat deklaratoir atau konstitutif tidak diperlukan eksekusi.

Putusan kondemnatoir tidak mungkin berdiri sendiri, dan merupakan bagian dari putusan deklaratoir, karena sebelum bersifat menghukum terlebih dahulu ditetapkan suatu keadaan hukum .

4. Eksekusi dilakukan oleh Pnitera / Jurusita atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri

C. Jenis-jenis Pelaksanaan Putusan

Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan, yaitu:

1. Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur dalam pasal 196 HIR, pasal 208 R.Bg

2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg

3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap. Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.

4. Eskekusi riil dalam bentuk penjualan lelang. Hal ini diatur dalam pasal 200 ayat (1) HIR, pasal 218 ayat (2) R.Bg

Pasal 196 HIR/207 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negri agar putusan dapat dijalankan.

Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai dalam bentuk uang.

Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan dengan tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah memenangkan pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi.

Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak.

Dalam praktek di pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah terlebih dahulu ditegur (di aan maning) oleh Ketua Pengadilan, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.

Apabila tidak bersedia melaksanakan perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapannya akan memerintahkan Panitera atau Juru Sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI) dengan paksa melakukan pengosongan terhadap pihak yaang kala serta segenap penghuni yang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Pemenng sesui bunyi amar putusan Pengadilan yang dimohonkan oleh pemohon eksekusi.

Adapun mengenai cara melakukan penjualan barang-barang yang disita dalam hal pelaksanaan eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang diatur dalam pasal 200 HIR.

Ketentuan pokoknya antara lain berisi :
1. Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang;
2. Urutan-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau
3. Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan dianggap telah tercapai, maka pelelangan segera dihentikan.

Baran-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang;

4. Sebelum pelelangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan setempat dan baru dapat dilaksanakan 8 hari setelah penyitaan;

5. Jika yang dilelang terasuk benda yang tidak berberak maka harus diumumkan dalam dua kali dengan selang waktu 15 hari;

6. Jika yang dilelang menyangkut benda tidak bergerak lebih dari Rp.1000.- harus diumumkan satu kali dalam surat kabar yang terbit di kota itu paling lambat 14 hari sebelum pelelangan;

7. Jika harga lelang telah dibayar, kepada pembeli diberikan kwitansi tanda lunas dan selain itu pula hak atas barang tidak bergerak tersebut beralih kepada pembeli;

8. Orang yang terkena lelang dan keluarganya serta sanak saudaranya harus menyerahkan barang tidak bergerak itu secara kosong kepada pembeli.

D. Tata cara Sita Eksekusi

1. Ada permohonan sita eksekusi dari pihak yang bersangkutan
2. Berdasar surat penetapan Ketua Pengadilan

surat Penetapan ini dikeluarkan apabila:

- Pihak yg kalah tidak mau menghadiri panggilan peringatan tanpa alasan yang sah,
- Pihak yg kalah tidak mau memenuhi perintah dalam amar putusan selama masa peringatan

3. Dilaksanakan oleh Panitera atau Jurusita

4. Pelaksanaan sita eksekusi dibantu oleh dua orang saksi

5. - Keharusan adanya dua orang saksi adalah syarat sah sita eksekusi
- Dua orang saksi tersebut berfungsi sebagai pembantu dan sekaligus sebagai saksi sita eksekusi
- Nama dan pekerjaan kedua saksi tersebut harus dicantumkan dalam Berita Acara Sita Eksekusi
- Saksi-saksi tersebut harus memenuhi syarat:
a. telah mencapai umur 21 tahun
b. berstatus penduduk Indonesia,
c. memiliki sifat jujur (dapat dipercaya)


PENUTUP

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah merupakan putusan akhir yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum lainnya termasuk Peninjauan kembali

Beberapa syarat agar putusan dapat dilaksanakan. Yaitu:

Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, Putusan tidak dijalankan secara sukarela, Putusan hakim yang bersifat kondemnatoir, Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan

TINJAUAN DARI SUATU DELIK PERZINAHAN

Tiap sistem hukum yang ada di dunia memandang berbeda terhadap
delik perzinahan sebagai bagian dalam delik-delik mengenai kesusilaan. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cara pandang dan nilai-nilai yang
melatarbelakanginya. Sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan, perzinahan akan dipandang sebagai
sebuah perbuatan yang asusila. Namun hal ini berbeda menurut masyarakat yang
lebih bercorak individualis. Mereka menilai perzinahan sebagai bentuk perbuatan
yang biasa dan tergantung kemauan tiap individu. Perzinahan akan dipandang
tercela jika terjadi hal itu dilakukan dalam bingkai perkawinan.
Usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia yang didengungdengungkan
selama ini, diharapkan banyak membuat perubahan-perubahan baru
mengenai kelemahan aturan pidana mengenai delik perzinahan sebagaimana
diatur dalam Pasal 284 KUHP. Oleh karena itu, semenjak Konsep KUHP
dikeluarkan pada tahun 1964, aturan delik perzinahan mengalami perubahan
signifikan.
Pendahuluan
Pada tulisan yang lalu, penulis telah memaparkan delik
perzinahan secara yuridis formil sebagaimana yang telah diatur dalam
Pasal 284 KUHP. Pembahasan secara positifistik tersebut ternyata
memperjelas pemahaman, bahwa delik perzinahan sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 284 KUHP memiliki banyak kelemahan secara
moril. Nilai dasar yang dipakai dalam membentuk Pasal 284 KUHP
berbeda sama sekali dengan konsepsi masyarakat Indonesia mengenai
zina itu sendiri. Jelas sekali, perbedaan pandangan demikian berimbas
pada perbedaan pengaturan zina dalam hukum pidana.
* Adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2
Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis kembali
memaparkan kembali mengenai tindak pidana perzinahan, akan tetapi
dalam sudut yang berbeda dengan tulisan yang lalu. Dalam tulisan ini,
penulis berusaha memaparkan perbandingan delik perzinahan yang ada
dalam hukum positif Indonesia (KUHP) dengan hukum lain mengenai
tindak pidana perzinahan. Selain itu, akan dipaparkan pula bagaimana
usaha yang telah dilakukan untuk mengeliminir kelemahan pengaturan
delik perzinahan menurut KUHP dalam kerangka pembaharuan
hukum pidana Indonesia.
Perbandingan Delik Perzinahan dalam Hukum Pidana Positif
Indonesia dengan Sistem Hukum Pidana Lain.
1. Hukum Pidana Islam
Dengan membandingkan hukum pidana Islam dengan hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaanperbedaan
sebagai berikut:
a. Menurut KUHP, zina hanya dapat terjadi bila ada persetubuhan
antara kedua orang pelaku (pria dan wanita) telah kawin, atau salah
satu dari keduanya telah terikat perkawinan dengan orang lain.
Bukanlah perzinahan apabila perzinahan itu dilakukan dengan
paksaan (vide pasal 285 KUHP), persetubuhan dengan perempuan
dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (vide pasal 286 KUHP)
dan persetubuhan dengan perempuan yang belum cukup umur lima
belas tahun (vide pasal 287 KUHP). Sedangkan menurut hukum
pidana Islam, tidak mempersoalkan apakah pelaku-pelakunya telah
diikat perkawinan dengan orang lain atau belum. Setiap
persetubuhan di luar perkawinan yang sah adalah zina. Adapun
persetubuhan yang dilakukan dengan paksaan atau persetubuhan
dengan wanita dalam keadaan tidak berdaya atau pingsan hanya
merupakan alasan penghapus pidana bagi wanita yang menjadi
korban.1 Bagi pria yang melakukan perbuatan-perbuatan itu tetap
dikategorikan sebagai pelaku zina.
1 Prof. Drs. Masyfuk Zuhdi, Op. cit., hal. 35.
3
b. Menurut ketentuan yang diatur di dalam KUHP, perzinahan hanya
dapat terjadi jika ada persetubuhan yang dilakukan orang yang telah
terikat dengan perkawinan. Sedangkan orang yang belum menikah
dalam perbuatan ini adalah termasuk orang yang turut melakukan
(medepleger). Sedangkan perzinahan dalam tinjauan hukum pidana
Islam adalah lebih luas dari pada pembatasan-pembatasan dalam
KUHP tersebut. Hukum pidana Islam tidak mempersoalkan
dengan siapa persetubuhan itu dilakukan. Apabila persetubuhan ini
dilakukan oleh orang yang telah menikah maka pelakunya disebut
pelaku muhsân, dan apabila persetubuhan ini dilakukan oleh orang
yang belum menikah maka pelakunya disebut pelaku gâiru muhsân.
c. Ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal 284 ayat (1) KUHP
adalah pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku yang telah
menikah maupun bagi orang yang turut serta melakukan perbuatan
zina itu. Sedangkan menurut hukum pidana Islam, ancaman pidana
disesuaikan dengan pelaku perzinahan. Jika pelaku zina itu muhsân
atau telah menikah maka ancaman pidananya adalah rajam (stoning to
death). Namun jika perzinahan itu dilakukan oleh orang yang belum
menikah (gâiru muhsân) maka ancaman pidananya adalah dicambuk
atau didera sebanyak delapan puluh kali.
d. Ketentuan yang mengatur mengenai persaksian tidak diatur secara
khusus dalam delik perzinahan menurut KUHP. Maka sistem
pembuktian delik perzinahan sama dengan sistem pembuktian
delik-delik yang lain. Artinya, alat bukti yang digunakan dalam
membuktian adanya perbuatan zina ini seperti alat-alat bukti yang
telah diatur dalam pasal 184 KUHAP, yaitu :
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
Selanjutnya pasal 185 ayat (3) mengatur bahwa keterangan seorang
saksi saja cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4
Ketentuan seperti ini berbeda dengan ketentuan mengenai delik
perzinahan dalam hukum pidana Islam. Hukuman (had) dapat
dijatuhkan apabila ada pengakuan dari pelaku bahwa dia telah
melakukan zina atau dari keterangan saksi. Karena menyangkut
hidup dan matinya seseorang, keterangan saksi ini mempunyai
persyaratan-persyaratan yang khusus, yaitu:
1. jumlah saksi harus empat orang laki-laki atau apabila tidak ada
orang laki-laki maka setiap orang laki-laki hanya dapat
digantikan oleh dua orang wanita;
2. saksi-saksi itu haruslah sudah baligh, berakal sehat dan bersikap
adil;
3. saksi-saksi itu harus beragama Islam;
4. keempat orang saksi itu mengetahui peristiwa perzinahan secara
mendetail.2
e. Pasal 284 ayat (2) KUHP mengatur bahwa delik perzinahan adalah
delik aduan absolut (absoluut klachdelicten) yang hanya dapat dituntut
atas pengaduan suami atau isteri yang tercemar dengan adanya
perzinahan itu (vide pasal 284 ayat (2) KUHP). Hal ini berbeda
dengan dengan hukum pidana Islam yang tidak membatasi pada
aduan absolut. Hukum pidana Islam tidak memandang zina
sebagai delik aduan, tetapi dipandang sebagai dosa besar yang harus
ditindak tanpa menunggu pengaduan dari orang-orang yang
bersangkutan. Jika persyaratan saksi-saksi telah terpenuhi maka
qodli (hakim ) dapat memutuskan perkara perzinahan itu. Saksi di
sini tidak menutup kemungkinan dari suami/isteri pelaku atau pun
orang lain.
2. Hukum Pidana Adat
Dengan membandingkan hukum pidana adat dengan hukum
pidana positif Indonesia (KUHP) dapat dikemukakan perbedaanperbedaan
sebagai berikut
a. Menurut ketentuan yang disebutkan dalam KUHP perzinahan
dapat terjadi apabila ada persetubuhan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang keduanya atau salah seorang dari mereka telah
2 Sayyid Sabiq, Op. cit., hal. 109-117.
5
terikat perkawinan dengan orang lain. Sedangkan menurut hukum
adat perzinahan tidak hanya dilakukan oleh orang yang sudah
kawin. Jadi baik sudah menikah maupun belum menikah jika
melakukan persetubuhan di luar hubungan yang sah tetap dianggap
sebagai perbuatan yang terlarang dan disebut juga sebagai zina.3
b. Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan bahwa perbuatan zina dapat
diancam dengan pidana penjara sembilan bulan, baik bagi pelaku
yang sudah kawin maupun bagi orang yang turut melakukan
perbuatan itu. Namun menurut hukum pidana adat, berat atau
ringannya pidana tergantung dari hukum adat yang berlaku di
lingkungan adat masing-masing.4 Adapun tindakan reaksi atau
koreksi terhadap kejahatan dalam lingkungan masyarakat adat
Indonesia dikenal tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. penggantian kerugian materiel dalam berbagai rupa seperti
paksaan untuk menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2. pembayaran uang adat kepada yang terkena, berupa benda sakti
sebagi pengganti kerugian rohani;
3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala
kotoran aib;
4. penutup malu atau permintaan maaf;
5. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata
hukum;
6. hukuman badan hingga hukuman mati.5
c. Hukum pidana Indonesia (KUHP) menganut asas legalitas formal
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 KUHP, yaitu tiada
suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan
aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan itu dilakukan. Akibat dianutnya asas legalitas formal ini
maka tafsiran analogi tidak boleh dipergunakan dalam menentukan
adanya tindak pidana. Sedangkan asas legalitas formal ini tidak
dikenal dalam hukum adat. Setiap perbuatan atau kejadian yang
bertentangan dengan kepatutan, kerukunan, ketertiban, keamanan,
3 Prof. Hi. Hilman Hadikusuma, S. H., Op. cit., hal. 88.
4 Loc. cit.
5 Prof. I Made Widnyana, S. H., Op. cit., hal. 44.
6
rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat bersangkutan, baik
hal itu akibat perbuatan seseorang maupun perbuatan penguasa
sendiri, maka perbuatan atau kejadian itu dianggap sebagai delik
adat.6 Oleh sebab itu dengan alasan manusia tidak akan mampu
meramalkan masa yang akan datang, maka ketentuan-ketentuan
dalam hukum adat tidak pasti dan bersifat terbuka untuk segala
peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang dijadikan
ukuran utama menurut hukum adat adalah rasa keadilan dan
kesadaran hukum masyarakat sesuai dengan perkembangan
keadaan, waktu dan tempat.7
3. Hukum Pidana Negara Lain
Delik perzinahan di berbagai negara asing banyak yang telah
dihapuskan dari hukum pidana positifnya seperti Belanda sebagai
sumber KUHP Indonesia, Perancis dan Inggris. Alasan-alasan
penghapusan pidana untuk delik perzinahan ini adalah sebagai berikut :
a. Perbuatan zina merupakan perbuatan tercela tetapi jika tujuannya
untuk melindungi perkawinan yang sah sehingga diberi sanksi
pidana, maka hal tersebut tidak dapat dipertahankan karena
rumusan hukumnya mewajibkan bagi mereka bercerai. Kalau akan
bercerai, sia-sia memberi pidana yang bersangkutan.
b. Penegakan hak asasi manusia yang telah berpengaruh luas sehingga
kesamaan hak untuk menikmati seks dianggap milik manusia yang
telah dewasa. Kesamaan antara pria dan wanita berakibat pula pada
kesamaan antara suami dan isteri. Suami isteri hidup berdampingan
tanpa ada yang merasa lebih tinggi atau berkuasa.
c. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka seks telah
dianggap sebagai kebutuhan orang dewasa. Menyadari hal tersebut
maka pasukan perang dibagikan kondom dan narapidana diberi
kesempatan untuk itu.8
Walaupun demikian ada beberapa negara yang masih
menganggap perzinahan sebagai delik yang diatur dalam KUHP-nya.
6 Prof. Hi. Hilman Hadikusuma, S. H., Op. cit., hal. 10.
7 Ibid, hal. 12.
8 Leden Marpaung, S. H., Kejahatan terhadap Kesusilaan dan masalah Prevensinya,
Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 43.
7
Berikut akan dikemukakan negara-negara yang masih mempertahankan
perzinahan sebagai delik dan perbedaannya dengan ketentuan delik
perzinahan menurut KUHP Indonesia.
a. KUHP Filiphina
Ketentuan mengenai delik perzinahan menurut KUHP
Filiphina disebutkan di dalam Buku II tentang Kejahatan dan Pidana,
Titel II tentang Kesucian Hubungan Seksual. Ketentuan delik
perzinahan itu menyebutkan :
Pasal 333
(Permukahan)
Mukah ialah dilakukan oleh seorang wanita yang mengadakan
senggama dengan seorang pria yang bukan suaminya dan oleh
seorang pria yang mengadakan hubungan senggama dengan
wanita yang diketahuinya sudah menikah, meski perkawinan
itu kemudian dinyatakan batal.
Mukah dipidana dengan prision correctional dalam masa waktu
menengah dan minimumnya.
Jika orang yang bersalah karena mukah melakukan delik ini
pada saat ditinggalkan tanpa izin oleh suaminya, maka pidana
yang ditentukan adalah setingkat lebih rendah dari pada yang
ditetapkan dalam paragraf di atas.9
Pada prinsipnya ketentuan delik pezinahan yang diatur dalam
KUHP Filiphina tersebut adalah sama dengan yang diatur dalam
KUHP Indonesia, yaitu jika dilakukan oleh pria atau wanita yang telah
menikah. Akan tetapi di sini disebutkan pula ketentuan pidana bagi
suami yang melakukan pergundikan, yaitu diatur dalam pasal 334. Pasal
334 itu berbunyi sebagai berikut :
“Seorang suami yang memelihara gundik yang tinggal bersama
sebagai suami isteri, atau melakukan hubungan seksual dalam
kemudian tidak senonoh dengan seorang perempuan yang bukan
isterinya, atau tinggal bersama sebagai suami isteri di suatu tempat,
dipidana prison correctional dalam masa waktu minimum dan
menengahnya”.
9 Dr. Andi Hamzah, S. H., KUHP Filiphina, Ghalia Indonesia. Jakarta, 1987, hal. 85.
8
Selain itu bagi pelaku zina dan pergundikan diancam hukuman
penjara koreksi (prison correctional). Pasal 92 KUHP Filiphina
menyebutkan bahwa prison correctional adalah penjara sepuluh tahun.
b. KUHP Korea
Ketentuan mengenai zina di atur KUHP Korea dalam Bab 22
dengan judul “Crimes Against Moral”. Zina (adultery) menurut KUHP
Korea termasuk delik kesusilaan yang diancam pidana maksimum dua
tahun. Perbedaannya dengan KUHP Indonesia adalah pengaduan delik
przinahan tidak dapat ditarik kembali jika suami atau isteri
memanfaatkan mukah itu. Selain itu dalam Bab 32 berjudul “Crimes
Concerning Chasity” (Kejahatan yang Berhubungan dengan Kesucian)
dalam pasal 304 diatur mengenai sexual intercourse under pretex of marriage,
yaitu persetubuhan yang dilakukan dengan cara membujuk wanita baikbaik
dengan dalih untuk dikawin atau dengan cara-cara tipuan lain.10
c. KUHP Argentina
Mukah (overspel) diatur dalam Pasal 118 tentang Kejahatan
terhadap Kesusilaan Umum. Ketentuan mengenai perzinahan ini
berbunyi sebagai berikut :
Pasal 118
Siapapun dari orang-orang berikut ini akan dipidana dengan tutupan
dari satu bulan sampai dengan satu tahun :
1. perempuan bersuami yang melakukan mukah (overspel)
2. seorang yang melakukan mukah (overspel) dengan perempuan
bersuami
3. seorang laki-laki beristeri yang memelihara gundik baik di rumah
tangganya sendiri atau di mana saja
4. gundik demikian dari laki-laki beristeri.11
Berdasarkan ketentuan demikian, menurut KUHP Argentina
pada dasarnya mirip dengan ketentuan dalam KUHP Indonesia yaitu
10 Dr. Andi Hamzah, S. H., Catatan tentang Perbandingan Hukum Pidana, Op. cit.,
hal. 20.
11 Dr. Andi Hamzah, S. H., KUHP Argentina, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hal.
85.
9
delik perzinahan hanya dapat terjadi bila salah seorang pelakunya telah
terikat perkawinan dengan orang lain.
d. KUHP Yugoslavia
Delik kesusilaan dapat dilihat dalam Chapter XVI dengan judul
“Criminal Offences Against the Dignity of the Person and Morals” atau Tindak
Pidana-tindak pidana yang Melawan Kehormatan Seseorang dan Moral
pada pasal 179 sampai dengan pasal 189. Dalam bagian ini tidak ada
satu pun pasal yang mengatur tentang delik perzinahan. Akan tetapi di
dalam pasal 193 disebutkan pasal yang mengatur tentang kumpul kebo
sebagai berikut :
(1) yang dipidana adalah kumpul kebo antara orang dewasa dengan
anak yang telah mencapai usia 14 tahun, pidananya tidak kurang
dari tiga bulan penjara
(2) pidana yang sama juga dikenakan pada orang tua atau wali yang
mengizinkan atau mendorong/membujuk anak di atas 14 tahun
untuk kumpul kebo dengan orang lain
(3) apabila ayat (2) dilakukan untuk kepentingan pribadi,
maksimum pidananya lima tahun penjara berat
(4) apabila perkawinan berlangsung, penuntutan tidak dilakukan;
dan apabila telah diadakan penuntutan, penuntutan itu tidak
dilakukan.12
Dasar Pembenaran terhadap Perzinahan sebagai Delik dalam
KUHP
Upaya penanggulangan kejahatan senantiasa menjadi
pembicaraan yang menarik bagi banyak kalangan, khususnya ahli
hukum pidana dan kriminologi. Dalam hukum pidana ada pembicaraan
mengenai norma, yakni larangan atau suruhan, dan ada sanksi atas
pelanggaran norma-norma itu berupa ancaman pidana. Dalam
kriminologi masalah penanggulangan kejahatan manjadi bagian penting
dengan kajian penologinya yang menaruh perhatian pada pengendalian
kejahatan dengan sistem sanksi pidana.
Kejahatan perlu mendapatkan kajian serius mengingat kerugian
yang ditimbulkannya. Kerugian tersebut dapat terjadi pada negara,
12 Prof. Dr. Barda Nawawi Atrief, S. H., Op. cit., hal. 315-316.
10
masyarakat maupun individu sehingga perlu diatasi. Oleh sebab itu
negara memberikan reaksi berupa larangan terhadap perbuatan itu serta
memberikan sanksi bagi orang yang melanggarnya.
Di samping itu dalam kenyataan sosial, reaksi sebagai upaya
untuk menanggulangi kejahatan tidak hanya diberikan oleh negara.
Masyarakat dan individu yang merasa dirugikan rasa keadilannya akan
memberikan reaksi pula. Aturan pidana yang kurang layak sering
menjadi obyek ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya menumbuhkan
reaksi sosial. Hal ini semakin jelas apabila diperhatikan hasil penelitian
yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
mengenai Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana. Baik masyarakat
Bali, Aceh ataupun Manado memandang bahwa KUHP sekarang
belum dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kondisi di atas
sangat dimungkinkan terjadi karena pengertian kejahatan menurut
hukum pidana berbeda dengan pengertian kejahatan menurut
masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut terjadi ketidakpuasan dari
sebagian masyarakat mengenai perilaku-perilaku menyimpang terutama
dalam lingkup kesusilaan. Hal ini disebabkan karena perilaku-perilaku
yang menyimpang dari norma-norma masyarakat belum mendapatkan
tempat semestinya dalam hukum pidana. Sebagai misal perbuatan zina
yang menurut pengertian masyarakat berbeda dengan pengertian zina
dalam hukum pidana Indonesia (KUHP).
Namun demikian Sudarto telah memberikan pijakan awal
bahwa apabila hukum pidana itu digunakan untuk mengatasi
permasalahan sosial tersebut maka harus dipertimbangkan secara
matang, karena hukum pidana itu mempunyai fungsi subsidier. Artinya
baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang
memberikan hasil yang memuaskan. Jika hukum pidana tetap
dilibatkan untuk mengatasi permasalahan sosial tersebut maka
hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal.13
Para penegak hukum maupun ahli hukum banyak yang
menyetujui delik perzinahan tetap diatur sebagai salah satu delik baik
dalam hukum pidana sekarang maupun untuk hukum pidana masa yang
13 Prof. Sudarto, S. H., Hukum dan Hukum Pidana, Op. cit., hal 104.
11
akan datang, walaupun pengertian perzinahan menurut aturan hukum
pidana sekarang tidak seluas perzinahan menurut pandangan
masyarakat, dengan mendasarkan pada beberapa peraturan perundangundangan
yang mengakui keberadaan hukum tidak tertulis serta
pernyataan hasil seminar atau simposium berikut ini :
a. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara
Pengadilan-pengadilan Sipil yang berbunyi sebagai berikut :
“…Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus
dianggap sebagai perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingannya
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Sipil, maka dianggap
diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara
dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti
bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak
yang terhukum…………Bahwa bilamana hukuman adat yang
dijatuhkan itu menurut pikiran hakim itu melampaui hukuman
kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka ……terdakwa
dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun penjara,
dengan pengertian bahwa hukuman adat yang….tidak selaras lagi
dengan zaman senantiasa diganti seperti tersebut di atas.
b. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 14 ayat (1) berbunyi :
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Pasal 23 ayat (1) berbunyi :
“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasardasar
putusan itu, juga harus memuat oula pasal-pasal tertentu dari
aturan yang bersangkutan atau bersumber dari hukum yang tidak
tertulis”.
Pasal 27 ayat (1) berbunyi :
12
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”.
c. Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke-1
Tahun 1963
Resolusi Butir IV :
“Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah
perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini
maupun dalam perundang-undangan lain. Hal ini tidak menutup pintu
bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan
tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi,
dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa”
Resolusi Butir VIII :
“Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam
KUHP”
d. Kesimpulan Komisi II Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama
terhadap Hukum Pidana Tahun 1975.
“Tentang tanggapan terhadap perbuatan pidana dalam KUHP dan
perbuatan tercela lainnya, yang mempunyai norma yang saling
menunjang antara norma hukum dan norma agama/adat, antara lain:
1). Perzinahan;
2). Pelacuran;
3). dan lain-lain,
Sidang mendapatkan pandangan-pandangan/pendapat-pendapat yang
titik beratnya ditujukan kepada :
1) Perzinahan dalam KUHP diberikan arti yang luas, karena pada waktu
sekarang dipandang tidak cocok lagi.
2) Mengenai perzinahan dengan pemberian sanksi harus mengawini,
timbul persoalan apabila salah satu pihak telah dalam ikatan
perkawinan di mana perkawinan baru dihalangi oleh perkawinan
lama. Demikian juga timbul persoalan anak yang dilahirkan akibat
perzinahan memungkinkan anak yang dilahirkan tetap menjadi anak
zina sekalipun oleh kedua orangtuanya kemudian diikuti dengan
perkawinan.”
e. Seminar Hukum Nasional IV Tahun 1979
13
Dalam laporan sub B II mengenai “Sistem Hukum Nasional”
dinyatakan antara lain:
a. Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan
kesadaran hukum masyarakat Indonesia.
b. … Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk
tertulis. Di samping itu hukum yang tidak tertulis tetap merupakan
bagian dari hukum nasional.14
Adapun keputusan-keputusan Pengadilan yang mengakui
perzinahan sebagai salah satu delik dengan mendasarkan pada hukum
yang hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang
patut dipidana karena perzinahan adalah sebagai berikut :
a. Putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Nopember 1977 No.
K/Kr/1976.
“Delik adat zinah merupakan perbuatan terlarang mengenai
hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari tempat
umum atau tidak perbutan tersebut itu dilakukan seperti
disyaratkan oleh pasal 281 KUHP, ataupun terlepas dari
persyaratan apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti
dimaksudkan oleh pasal 284 KUHP”.
b. Putusan Mahkamah Agung No. 666 K/Pid/1984.
Putusan kasasi ini menyangkut seorang terdakwa pemuda (30
tahun) yang menjalin hubungan badan dengan gadis (24 tahun)
dengan dalih akan dinikahi. Akan tetapi setelah gadis tersebut
hamil, pemuda tersebut menolak menikahi gadis tersebut. Menurut
masyarakat Luwuk, Sulawesi Tengah tempat kejadian kasus ini
perbuatan itu termasuk delik adat zina yang tidak ada bandingannya
dalam KUHP. Atas dasar pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang
Darurat No. 1 Tahun 1951 terdakwa dijatuhi hukuman pidana
penjara tiga bulan.
c. Putusan Pengadilan Negeri Denpasar No. 79/Tol. Pid/1983/PN
Denpasar, putusan Pengadilan Negeri Denpasar No.
104/PN/Dps/Pid/1980, putusan No. 2/Pid/B/1985/PN
Denpasar, putusan No. 25/Pid/B/1986/PN Denpasar dan
putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/Pid./S/1988/PT Dps
14 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S. H., Op. cit., hal. 88-90.
14
untuk menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung 27
Januari No. 1/Pid./S/1988/PN Klk.
Semua putusan Pengadilan Bali ini menyangkut delik adat lokika
sanggraha. Unsur-unsur yang menonjol adalah persetubuhan
dilakukan oleh dua orang yang berada di luar perkawinan dengan
janji akan dinikahi, atas dasar suka sama suka, namun ternyata
pihak pria mengingkarinya. Dasar pemidanaannya adalah pasal ayat
(3) sub b Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 jo. Pasal
359 Kitab Adigama.15
Prospek Delik Perzinahan dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia
Menurut naskah rancangan KUHP Baru yang disusun
oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 dan
disempurnakan oleh Tim Kecil sampai dengan 13 Maret 1993,
delik perzinahan diatur dalam pasal 385 (14.09) Konsep KUHP.
Pasal 385 ini dimasukkan ke dalam salah satu tindak pidana
dalam Bab XIV tentang Perbuatan Melanggar Kesusilaan di
Muka Umum Buku II Konsep KUHP.
Adapun perkembangan delik perzinahan di dalam Konsep
KUHP sudah dimulai sejak dikonsepkannya KUHP pertama
kali yaitu pada tahun 1977 (Konsep BAS). Dalam Konsep 1977
ini delik perzinahan diatur sebagaimana yang tercantum di dalam
KUHP dengan ada beberapa perubahan. Akan tetapi
dimasukkan pula delik-delik baru yang berhubungan dengan
delik perzinahan yaitu persetubuhan di luar nikah yang berakibat
hamilnya wanita dan pria menolak untuk mengawininya (pasal
301), penyalahgunaan alat-alat pencegah kehamilan di luar
hubungan perkawinan yang sah (pasal 302) dan tindak pidana
kumpul kebo (pasal 303).
Pada perkembangan selanjutnya delik mengenai penyalahgunaan
alat pencegah kehamilan di luar hubungan perkawinan yang sah
(pasal 302) dan kumpul kebo (pasal 303) dihapus di dalam
Konsep KUHP tahun 1984/1985. Peniadaan kedua pasal ini
15 Dr. Muladi, S. H., Proyeksi Hukum Pidana Materiil di Indonesia di Masa
Mendatang, Op. cit., hal. 16.
15
diikuti pula pada Konsep KUHP tahun 1986/1987, Konsep
KUHP tahun 1989/1990 dan Konsep KUHP tahun 1991/1992
(sampai dengan Februari 1992). Namun di dalam Konsep
KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan Desember 1992)
kumpul kebo yang diatur dalam Konsep BAS tahun 1977
dimasukkan kembali sebagai salah satu tindak pidana
kesusilaan.16
2. Ketentuan Mengenai Delik Perzinahan dalam Konsep
KUHP Tahun 1991/1992 (sampai dengan 13 Maret 1993)
Sebagaimana yang telah disebut di atas, delik perzinahan dalam
Konsep KUHP tahun 1991/1992 (sampai dengan 13 Maret
1993) dicantumkan dalam pasal 385 (14.09) dengan perumusan
sebagai berikut :
Pasal 385 (14.09)
(1) Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun
ke - 1 a. seorang laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan yang
bukan isterinya;
b. seorang perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
yang melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki
yang bukan suaminya;.
ke - 2 a. seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut,
sedangkan diketahuinya bahwa perempuanyang
bersetubuh dengan ia itu berada dalam ikatan
perkawinan;
b. seorang perempuan yang melakukan perbuatan tersebut
sedangkan diketahuinya bahwa laki-laki yang
bersetubuh dengan dia itu berada dalam ikatan
perkawinan
(2) Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/isteri
yang tercemar.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 27, 28 dan 108
KUHP.
16 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S. H., Op. cit., hal. 297-298.
16
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
Apabila dibandingkan dengan ketentuan delik perzinahan dalam
pasal 284 KUHP maka akan diketahui beberapa perbedaan dan
persamaan mengenai delik perzinahan itu.
Menurut Konsep KUHP istilah yang digunakan untuk
menunjuk pada perbuatan zina adalah dengan istilah
permukahan. Hal ini apabila istilah tersebut tetap dipakai sampai
disahkannya rancangan Undang-undang KUHP maka akan
menjadi istilah yang dipakai secara yuridis. Berbeda dengan
KUHP sekarang yang aslinya berbahasa Belanda. Terdapat
perbedaan pada beberapa terjemahan KUHP dalam
mengartikan kata overspel pada pasal 284 KUHP itu.
Berdasarkan pasal 385 ayat (1) Konsep KUHP pelaku tindak
pidana permukahan mendapatkan ancaman pidana penjara
paling lama lima tahun. Sedangkan di dalam KUHP ancaman
pidana bagi pelaku zina lebih rendah , yaitu pidana penjara
sembilan bulan.
Perkembangan lain yang dapat dilihat dalam pasal 385 ayat (1)
Konsep KUHP adalah bahwa Konsep tidak membedakan
antara pelaku yang telah kawin dengan pelaku yang belum
kawin. Seperti yang dirumuskan dalam KUHP bahwa
perzinahan hanya dapat terjadi apabila seseorang telah kawin
melakukan persetubuhan. Sedangkan mereka yang belum kawin
yang diatur dalam pasal 284 ayat (1) angka 2 disebut sebagai
orang yang turut serta. Namun di dalam rumusan Konsep
KUHP tidak digunakan kata turut sebagaimana di dalam
KUHP. Dengan demikian, menurut Konsep KUHP seseorang
yang belum kawin disebut pula sebagai pelaku perzinahan.
Akan tetapi pada pokoknya antara KUHP dengan Konsep
KUHP mempunyai pandangan yang sama yaitu perzinahan atau
permukahan hanya dapat terjadi apabila keduanya atau salah
satu dari mereka sudah kawin.17
17 Drs. P. A. F. Lamintang, Op. cit., hal. 106.
17
Di samping itu di dalam Konsep KUHP tidak mensyaratkan lagi
bagi pria itu tunduk pada pasal 27 BW. Hal itu berbeda dengan
KUHP yang mensyaratkan adanya pemberlakukan pasal 27 BW
bagi pria yang berzina.
Melihat rumusan pasal 385 ayat (2) , Konsep KUHP menganut
prinsip yang sama dengan KUHP yaitu bahwa penuntutan atas
delik perzinahan harus didasarkan pada adanya pengaduan dari
suami/isteri yang tercemar.
Mengenai sifat delik perzinahan ini sebenarnya Konsep KUHP
tahun 1977 sampai dengan Konsep tahun 1991/1992 (sampai
dengan Desember 1992) masih berprinsip bahwa delik
perzinahan termasuk delik biasa atau bukan delik aduan lagi.18
Akan tetapi dengan memperhatikan rumusan yang ada dalam
pasal 385 ayat (2) Konsep KUHP (sampai dengan 13 Maret
1993) kedudukan delik perzinahan berubah menjadi delik aduan.
Selama ini masih ada perbedaan pendapat di antara para ahli
hukum mengenai sifat delik perzinahan. Sehingga karena belum
adanya titik temu antara kedua belah pihak tersebut maka di
dalam Konsep KUHP disebutkan catatan bahwa ada pendapat
delik perzinahan ini sebaiknya bukan delik aduan, dan karena itu
menyarankan agar ayat (2), (3) dan (4) dihapuskan.
Terhadap masalah yang menimbullkan pro dan kontra mengenai
sifat delik perzinahan ini, Barda Nawawi Arief memberikan
pertimbangan sebagai berikut :
a. Konsep nilai dan kepentingan yang melatarbelakangi sifat dan
hakikat perzinahan.
Delik perzinahan merupakan salah satu delik kesusilaan yang
erat kaitannya dengan kesucian lembaga perkawinan.
Sehingga masalah sentralnya terletak pada pandangan
masyarakat mengenai kesusilaan dan kesucian lembaga
perkawinan. Pandangan barat yang melatarbelakangi WvS
berbeda dengan pandangan masyarakat Indonesia mengenai
perzinahan dan perkawinan. Perkawinan dalam pandangan
masyarakat terkait pula dengan nilai-nilai dan kepentingan
18 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S. H., Op. cit., hal. 317.
18
masyarakat. Sehingga tidak bijaksana apabila delik perzinahan
tetap dijadikan delik aduan absolut.
b. Aspek tujuan dari kebijakan kriminal (criminal policy).
Ditetapkannya suatu delik sebagai delik aduan atau sebagai
delik biasa merupakan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu. Salah satu tujuannya adalah pencegahan (preventie).
Dengan ditetapkannya delik perzinahan sebagai delik aduan
absolut, prevensinya lemah karena memberi peluang dan
dasar legitimasi kepada seseorang untuk merasa bebas
melakukan perzinahan. Hal ini justru menjadi faktor
kriminogen.
c. Aspek kesusilaan nasional, faktor kriminogen dan dampak
negatif lainnya dari perzinahan.
Tujuan politik kriminal dengan dilarangnya perzinahan adalah
kesucian lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya,
antara lain mencegah tumbuh suburnya pelacuran dan
mencegah perbuatan main hakim sendiri.
d. Aspek kepentingan individu dan alternatif teknis perumusan
delik.
Adanya perbuatan zina mengakibatkan kerugian individu bagi
pihak yang terkena skandal perzinahan. Namun hal ini pun
perlu dipertimbangkan dengan kepentingan umum yang turut
dirugikan. Sehingga perlu dipertimbangkan secara
proporsional antara kepentingan individu dengan
kepentingan umum. Apabila ada dua kepentingan yang samasama
kuat dan mendasar maka sepantasnya kedua
kepentingan itu diperhatikan. Jalan keluar dari permasalahan
itu adalah perumusan delik perzinahan ditetapkan sebagai
delik aduan relatif.19
Yang menarik untuk diperhatikan dalam Konsep KUHP adalah
tindak pidana-tindak pidana yang berhubungan dengan masalah
perzinahan seperti kumpul kebo dan janji nikah dimasukkan
dalam rumusannya, yaitu pada pasal 386, 387 dan pasal 388
19 Ibid, hal. 279-285.
19
Konsep KUHP tahun 1991/1992 sampai dengan 13 Maret
1993. Rumusannya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 386 (14.10)
(1) Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain di luar
perkawinan yang sah, dipidana dnegan denda paling banyak kategori
I.
(2) Tidak dilakukan penuntutan, kecuali atas pengaduan keluarga
pembuat sampai derajat ke tiga atau oleh kepala adat atau kepala desa
setempat.
Berdasarkan rumusan pasal 386 Konsep KUHP ini maka
permasalahan bahwa permukahan hanya dapat terjadi apabila
pelaku atau satu telah kawin sedikit teratasi. Karena pada
dasarnya persetubuhan di luar nikah adalah permukahan juga.
Di samping itu pasal 386 dirumuskan secara umum, baik yang
sudah kawin maupun yang belum kawin. Adapun ancaman
pidananya adalah pidana denda kategori I.
Mengenai pidana denda dengan pengkategorian seperti yang
dirumuskan dalam pasal 386 di atas dapat dilihat pada Buku I
Ketentuan Umum Konsep KUHP. Di dalam pasal 73 tentang
Pidana ayat (2) dan (3) Konsep KUHP dirumuskan sebagai
berikut :
(2) Pidana denda paling sedikit adalah seribu lima ratus rupiah kecuali
ditentukan minimum khusus.
(3) Maksimum denda ditetapkan berdasarkan kategori.
Ada 6 kategori, yaitu :
Kategori I maksimum Rp. 150.000
Kategori II maksimum Rp. 750.000
Kategori III maksimum Rp. 3.000.000
Kategori IV maksimum Rp. 7.500.000
Kategori V maksimum Rp. 30.000.000
Kategori VI maksimum Rp. 300.000.000
Dengan demikian berdasarkan pasal 73 Konsep KUHP
di atas, apabila seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana
20
disebutkan di dalam pasal 386,maka akan diancam pidana denda
minimum Rp. 1.500 dan maksimum Rp. 150.000.
Dalam delik ini pun ditentukan bahwa penuntutan akan
dilakukan hanya jika ada pengaduan. Sehingga dapat
dikategorkan sebagai delik aduan. Adapun pihak-pihak yang
dapat mengajukan pengaduan tindak pidana ini ialah :
a. keluarga pembuat sampai derajat ketiga;
b. kepala adat setempat;
c. kepala desa setempat.
Sebagaimana pasal 385 Konsep KUHP, pasal 386 ini pun
termasuk pasal yang menjadi perdebatan di antara ahli hukum.
Sehingga dalam pasal 386 tersebut disebutkan pula catatan
bahwa ada yang berpendapat tindak pidana yang disebut dalam
ayat (1) itu dihapus. Selain itu ada pula yang tidak setuju dengan
adanya rumusan bahwa delik ini dapat diadukan oleh kepala adat
atau kepala desa setempat.
Pasal 387 (14.10 a)
(1) Pria yang bersetubuh dengan perempuan dengan persetujuan
perempuan itu karena janji akan dinikahi, kemudian mengingkari
janji itu atau karena tipu muslihat lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak kategori
IV.
(2) Pria yang tidak beristeri yang bersetubuh dengan perempuan tidak
bersuami yang mengakibatkan hamilnya perempuan itu dan ia bersedia
menikahi atau ada halangan untuk nikah yang diketahuinya, menurut
undang-undang perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling
alama lima tahun, atau denda paling banyak kategori IV.
Melihat ketentuan yang dirumuskan dalam pasal 387 Konsep
KUHP di atas, maka dapat dilihat perkembangan di dalam
masalah janji nikah. Masalah ini merupakan masukan dari
berbagai kalangan yang melihat persetubuhan dengan janji untuk
menikahi dan setelah wanita hamil pria yang menghamili
mengingkari janjinya adalah perbuatan tercela menurut
masyarakat. Sedangkan menurut KUHP perbuatan tersebut
tidak merupakan tindak pidana.
21
Adapun ancaman pidana yang dikenakan bagi pria yang
melakukan perbuatan tersebut dalam pasal 387 ayat (1) dan ayat
(2) adalah dengan sistem alternatif yaitu dengan penjara paling
lama empat tahun untuk ayat (1) dan paling lama lima tahun
untuk ayat (2), atau dengan pidana denda maksimum kategori
IV (Rp. 7.500.00).
Pasal 387 ayat (2) Konsep KUHP menyebutkan bahwa salah
satu syarat bagi pria yang bersetubuh sehingga mengakibatkan
hamilnya perempuan itu, untuk dapat diberikan sanksi pidana
adalah ia tidak bersedia menikahi atau ada halangan untuk
menikahi yang diketahuinya menurut undang-undang
perkawinan.
Adapun menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, halangan-halangan yang
menyebabkan adanya larangan untuk menikah disebutkan dalam
pasal 8, 9 dan 10 yang juga disebut sebagai syarat-syarat materiel
relatif perkawinan, yaitu syarat-syarat bagi pihak yang hendak
dikawini.20 Pasal 8 Undang-undang Perkawinan itu
menyebutkan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang
:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
maupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan dengan semenda, yaitu mertua, anak tiri,
menantu, dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri dan hal seorang suami beristeri lebih
dari seorang;
20 Mulyadi, S. H., M. S., Hukum Perkawinan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 1993, hal. 18.
22
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku, dilarang kawin;
Adapun pasal 9 menyebutkan bahwa seorang yang masih terikat
oleh perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi
kecuali dalam hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4
Undang-undang perkawinan ini. Sedangkan pasal 10
menentukan bahwa apabila suami dan isteri yang telah cerai
kawin lagi dengan yang lain dan bercerai untuk kedua kalinya,
maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Menanggapi pasal 387 Konsep KUHP 1991/1992 , Leden
Marpaung berpendapat bahwa :
a. perlindungan tersebut merupakan perlindungan yang
berlebihan jika ditujukan untuk melindungi wanita yang
dewasa;
b. perlindungan tersebut bukan merupakan perlindungan
hukum, tetapi telah merupakan perkosaan terhadap individu.
Biarlah individu yang menentukan jalan terbaik baginya.
c. perlindungan tersebut seyogyanya tidak diatur dakam KUHP
karena kedua pasal itu tidak merugikan masyarakat.
Sedangkan ingkar janji telah diatur dalam KUHPerdata.
d. perlindungan pasal 387 merupakan perlindungan yang sangat
berbahaya karena dapat dimanfaatkan oleh seorang wanita
yang mencintai seorang pria yang belum mencintainya
dengan melakukan perbuatan yang menggairahkan birahi si
pria.
e. hal tersebut tidak melukiskan adanya emansipasi.21
Selain itu dengan pengaturan sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal 387 ayat (1) dan (2) di atas, di satu sisi
memang dapat mencegah orang melakukan perbuatan itu. Akan
tetapi bila ditinjau dari segi lain seolah nanti ada anggapan
21 Leden Marpaung, S. H., Op. cit., hal. 47.
23
bahwa boleh saja bersetubuh di luar nikah jika ia bermaksud
menikahinya.
Masalah lainnya adalah dengan unsur mengingkari janji pada
ayat (1) dan tidak bersedia menikahi pada ayat (2) dikhawatirkan
muncul peristiwa pria menikahi wanita tersebut hanya untuk
menghindari hukuman kemudian menceraikannya. Dan muncul
pula anggapan bahwa yang lebih jahat adalah perbuatan
mengingkari janji, bukan perbuatan persetubuhan di luar nikah
itu sendiri.22
3. Kedudukan Hukum Adat sebagai Hukum Tidak Tertulis
dalam Konsep KUHP
Seperti yang telah dikemukakan di awal bahwa perzinahan
merupakan salah satu perbuatan yang kotor dan tercela menurut
masyarakat. Walaupun hukum pidana adat tidak menganut
hukum tertulis, namun perzinahan bagaimana bentuknya
dianggap sebagai salah satu perbuatan yang dapat dikenai sanksi
adat. Sanksi adat sebagai reaksi sosial atas perbuatan itu terdapat
perbedaan antara masyarakat adat yang satu dengan masyarakat
adat yang lain.
Berpijak pada hal demikian akan dibahas perkembangan dari
Konsep KUHP berkenaan dengan kedudukan hukum adat
dalam hukum pidana nasional yang akan datang.
a. Asas Legalitas
Selama ini KUHP menganut asas legalitas formal. Hal
ini ditegaskan dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.”
Dalam perkembangannya penetapan sumber hukum
atau dasar dapat dipidananya suatu perbuatan Konsep KUHP
bertolak dari pengertian bahwa sumber hukum yang utama
adalah undang-undang (hukum tertulis). Jadi tetap bertolak
dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Asas ini
22 Topo Santosa, S. H., Op. cit., hal. 125.
24
dicantumkan dalam pasal 1 ayat (1) Konsep KUHP yang
dirumuskan sebagai berikut :
“Tiada seorangpun dapat dipidana atau dikenakan tindakan kecuali
perbuatan yang dilakukannya atau tidak dilakukannya telah
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundangundangan
yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.
Namun berbeda dengan asas legalitas dalam KUHP
selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara
materiel dengan menegaskan dalam pasal 1 ayat (3) sebagai
berikut :
“Ketentuan dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang
hidup yang menentukan bahwa menurut adat setempat seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan”.
Dengan demikian walaupun sumber hukum tertulis
(undang-undang) sebagai patokan formal yang utama,
Konsep KUHP masih memberi tempat kepada sumber
hukum tidak tertulis (hukum adat) yang hidup dalam
masyarakat sebagai dasar menetapkan patut dipidananya
suatu perbuatan, sepanjang tidak diatur di dalam undangundang.
Perluasan perumusan asas legalitas ini tidak dapat
dilepaskan dari pokok pemikiran untuk mewujudkan dan
sekaligus menjamin asas keseimbangan antara kepentingan
individu dan kepentingan masyarakat dan kepastian hukum
dengan keadilan.23
b. Penetapan Jenis-jenis Pidana
Menurut pasal 10 KUHP jenis-jenis pidana meliputi :
1. Pidana Pokok :
a. Pidana mati;
b. Pidana penjara;
c. Pidana kurungan;
d. Pidana denda.
23 Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S. H., Op. cit., hal. 108.
25
2. Pidana Tambahan :
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Dalam perkembangannya, Konsep KUHP merumuskan
bahwa pemenuhan kewajiban adat merupakan salah satu jenis
pidana tambahan. Lebih lengkapnya, pasal 60 ayat (1) Konsep
KUHP merumuskannya sebagai berikut :
(1) Pidana Tambahan adalah :
ke-1 pencabutan hak-hak tertentu;
ke-2 perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
ke-3 pengumuman keputusan hakim;
ke-4 pembayaran ganti kerugian;
ke-5 pemenuhan kewajiban adat.
Pencantuman pemenuhan kewajiban adat dalam
Konsep KUHP adalah suatu konsekuensi logis dari diakuinya
keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai
salah satu sumber hukum atau dasar dapat dipidananya suatu
perbuatan. Hal ini juga disebabkan, reaksi sosial atas
perbuatan-perbuatan yang mengganggu keseimbangan
masyarakat tidak mungkin seluruhnya dapat dirumuskan
dalam Konsep KUHP.
Seperti yang telah disebutkan di muka tindakan reaksi
atau koreksi terhadap pelanggaran di berbagai lingkungan
adat Indonesia meliputi :
1. pengganti kerugian imateriel dalam berbagai rupa seperti
paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2. pembayaran uang adat kepada yang terkena, yang berupa
benda sakti sebagai pengganti kerugian korban;
3. selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari
segala kotoran aib;
4. penutup malu, permintaan maaf;
5. berbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
26
6. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di
luar tata hukum.24
Pemberian sanksi adat terutama bagi orang yang
melakukan delik perzinahan antara masyarakat adat yang satu
dengan masyarakat adat yang lain adalah berbeda. Sehingga
dimasukkannya jenis pidana ini nantinya diharapkan akan
dapat menampung berbagai jenis sanksi adat atau sanksi
menurut hukum tak tertulis.
Melihat perumusan yang demikian itu Konsep KUHP
mengenal dua pola sanksi yaitu sanksi formal dan sanksi
informal. Sanksi formal yaitu sanksi yang sudah disebutkan
secara konkret dan eksplisit menurut undang-undang.
Sedangkan sanksi informal merupakan sanksi yang hidup
menurut hukum tidak tertulis yang jenisnya tidak secara tegas
disebutkan dalam undang-undang.25
Pembagian demikian tidak berarti delik menurut
undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi informal
(pemenuhan kewajiban adat). Delik menurut undang-undang
tetap dapat dikenakan sanksi berupa pemenuhan kewajiban
adat akan tetapi sebagai pidana tambahan. Untuk delik
informal, atau tindak pidana yang memenuhi pasal 1 ayat (3)
sanksi pemenuhan kewajiban adat merupakan pidana pokok
atau yang diutamakan (vide pasal 90 ayat (2) Konsep KUHP).
Kemudian apabila sanksi informal ini tidak dipenuhi maka
sebagai gantinya adalah sanksi formal. Menurut pasal 90 ayat
(3) Konsep KUHP pengganti pidana kewajiban adat ini
adalah pidana denda dengan kategori I.26

PENGERTIAN TINDAK PIDANA DAN PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA

A. ISTILAH TINDAK PIDANA

Dari beberapa literature dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakekatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata Strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata Strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia.

Penerapa kata yang dighunakan untuk menterjemahkan kata Strafbaarfeit oleh sarjanah-sarjanah Indonesia antara lain :

1. Tindak Pidana ;
2. Delict ; dan
3. Perbuatan pidana.

Penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan dipahami maknanya, bahkan dalam konteks yang lain juga digunakan istilah kejahatanuntuk mewujudkan maksud yang sama. namun demikian sekedar untuk diketahui, bahwa istilah-istilah tersebut sering juga dikemukakan seputar perdebatan konseptual berkaitan dengan munculnya perbedaan dari istilah dikamsud mislanya :

Moelyatno, mempertanyakan para sarjanah yang menyamakan istilah peristiwa pidana, tidanbka pidana dan sebagainya dengan istilah Strafbaarfeit tanpa ada penjelasan apapun. Moelyatno yang menggunakan isatilah perbuatan pidana sebagai salinan kata Strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah Strafbaarfeit perlu diketahui apa arti dari Strafbaarfeit itu sendiri.

Simon Strafbaarfeit dapat diartikan sebagai kelakukan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Van Hammel imon Strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam Wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan .

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Strafbaarfeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut :

1. Bahwa kata feit dalam istilah Strafbaarfeit mengandung arti kelakukan atau tingkah laku;

2. Bahwa pengertian Strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakanb kelakukan tersebut .

Menurut Moelyatno butir ke-1 pengertianya berbeda dengan perbuatan dalam istilah perbuatan pidana, sebab menurut beliau perbuatan menghandung makna kelakuan dan Akibat, bukan hanya berarti kelalkuan saja. Sementara butir ke-2 maknanya juga berbeda dengan perbuatan pidana, sebab dalam istilah perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana.

Perbuatan pidana hanya menunjuk pada sifat perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman pidana apa bila dilanggar, Persoalan apakah orang yang melanggar itu kemudian benar-benar dipidana atau tidak, hal ini akan tergantung pada keadaan bathinnya dan hubungan bathin antara pembuat / pelaku dengan perbuatannya. Dengan demikian menurut Muoelyatno perbuatan pidana dispiasahkan dari pertanggungjawaban pidana.

Dalam perbuatan pidana tidak memuat unsur pertanggungjawaban pidana pidana. Hal ini menurut Moelyatno, berbeda dengan istilah Strafbaarfeit yang selain memuat atau mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian kesalahan.

Pandangan Moelyatno tersebut merupakan pandangan dualistis tentang perbuatan pidana. Berdasarkan pandangan tersebut atas, maka Moelyatno menyimpulkan bahwa untuk adanya pertanggungjawab pidana tidak cukup hanya dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, tetapi harus juga adanya unsur kesalahan.

Kelemahan mendasar dari penjelasan Moelyatno tentang istilah perbuatan pidana adalah beliau memberikan makna terhadap istilah perbuatan sebagai kelakuan dan akibat, sementara apa yang dimaksud akibat dalam konteks itu tidak pernah dijelaskan. Padahal perbuatan pidana tidak hanya bisa menunjuk pada perbuatan / tindak pidana Materiil saja yang memang mempersyaratkan timbulnya akibat untuk terjadinya, tetapi juga dapat menunjuk pada tindak pidana formil.

Jenis perbuatan pidana ini dianggap telah terjadi dengan telah dilakukannya tindak pidana yang dilarang. Dengan demikian istilah perbuatan dalam perbuatan pidana yang diberikan makna kelakuan + akibat oleh Moelyatno, tidak selamanya relevan, sebab ada perbuatan pidana yang hanya mempersyaratkan kelakuan ( yang dilarang ) tanpa mempersyaratkan akibat untuk terjadinya, yaitu perbuatan / tindak pidana formil.

B. PENGERTIAN DANB UNSUR TINDAK PIDANA

Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk pada istilah Strafbaarfeit atau tindak pidana berikut ini akan kita bahas tentang Tidndak pidana.

Sebagai salah satu masalah essensial dalam hukum pidana, masalah tindak pidana perlu diberikan penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa sangat Urgen oleh karena penjelasan tentang masalah ini akan memberikan pemahaman kapan suatu perbuatan dapat dikwalisifikasikan sebagai perbuatan / tindak pidana dan kapan tidak. Dengan demikian dapat diketahui dimana batasan-batasan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan tindak pidana.

Secara doctrinal dalam hokum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Untuk mengetahui bagaimana dua pandangan tersebut memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan diuraikan tentang batasan / pengertian tindak pidana yang diberikan oleh dua pandangan dimaksud :

A. PANDANGAN MONISTIS :

Pandangan Monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (Criminal act) dan pertanggung-jawaban pidana / kesalahan ( Criminal responbility).

Ada beberapa batasan / pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan Monistis :
1. D. SIMON :

Menurut D. Simon, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut D. Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif ( berbuat) maupun perbuatan Negatif ( tidak beruat )
2. diancam dengan pidana ;
3. melawan hukum;
4. dilakukan dengan kesalahan; dan
5. oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

Dengan penjelasan seperti tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya pidana teah melekat pada perbuatan pidana. D. Simon tidak memisahkan antara criminal act dan Criminal responbility. Apabila diikuti pandangan ini maka ada seseorang yang melakukan pembunuhan Eks Pasal 338 KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang melakukan itu adalah orang yang tidak mampu beranggungjawab, misalanya karena orang tersebut Gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana. Secara gampang bisa dijelaskan mengapa peristiwa tersebut tidak dapat disebut tidak pidana, sebab unsur-unbsur dari tindak pidana tersebut tidak terpenuhi, yaitu unsur orang ( subyek hukum ) yang mampu bertanggungjawab. Oleh karena tidak ada tindak pidana, maka tidak pula ada pidana ( pemidanaan ).

2. J. BAUMAN :

Menurut J. Bauman, perbuatan / tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

3. WIRYONO PROJODIKORO.

Menurut Wiryono Projodikoro, perbuatan/tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana.

B. PANDANGAN DUALISTIS :

Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat kesalahan syarat adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Apabila menurut pandangan Monistis dalam pengertian tinmdak pidana sudah tercakup di dalamnya baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup Criminal act , dan Criminal responsibility tidak menjadi unsur tindak pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan / pertanggungjawab pidana.

Untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis mendefinisikan apa yang dimaksud perbuatan / tindak pidana, dibawa ini akan kita bahas mengenai batasan-batasan tentang tindak pidana, yang diberikan oleh para sarjana yang menganut pandangan dualistis :

1. POMPE :

Menurut Pompe, dalam hukum positif Strafbaarfeit tidak lain adalah feit ( tindakan, pen ), yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. Menurut Pompe, dalam hukum positif, sifat melawan hukum dan kesalahan bukanlah syarat mutlak untuk adanya tindak pidana .

2. MOELYATNO :

Menurut Moelyatno, tperbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelan untuk terjadinya perbuatan / tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya perbuatan ( manusia );

2. yang memenuhi rumusana dalam undang-undang ( hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP ) ;

3. bersifat melawan hukum ( hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang Negatif ).

Dengan difinisi / pengertian, perbuatan / tindak pidana tersebut diatas, dapat diambil kesimpula, bahwa dalam ppengertian tentang tindak pidana tidak tercakkup pertanggungjawaban pidana (Crimnal responsibility ), namun demikian, Moelyatno juga menegaskan, bahwa untuk adanya pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jadi peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu benar-benar dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan bagaimana hubungan bathin antaraperbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila perbuatan yang terjadi itu dapat dicelakan kepada orang itu, yang berarti dalam hal ini ada kesalahan dalam diri orang itu, maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian sebaliknya.

Setelah diketahui dua pandangan tentang perbuatan pidana yaitu pandangan Monistis dan pandangan dualistis, berikut ini akan kita bahas seberapa jauh Urgensi pembedaan itu dalam hukum pidana.

Apabila dikaitkan dengan syarat adanya pidana atau syarat penjatuhan pidana, kedua pandangan tersebut diatas sebenarnya tidak mempunyai perbedaab yang mendasar. Dari kedua pandangan tersebut sama-sama mempersyaratkan, bahwa untuk adanya pidana harus ada perbuatan / tindak pidana ( Criminal act ) dan pertanggungjawaban pidana ( Criminal responsibility ). Yang membedakan adalah bahwa pandangan Monistis keseluruhan syarat untuk adanya pidana dianggap melekat pada perbuatan pidana olehkarena dalam pengertian tindak pidana tercakup baik Criminal Act maupun Criminal responsibility, sementara dalam pandangan dualistis keseluruahn syarat untuk adanya pidana tidak melekat pada perbuatan pidana, olehkarena dalam pengertian tindak pidana hanya mencakup Criminal act tidak mencakup Criminal responsibility. Ada pemisahan antara perbuatan ( pidana ) dengan orang yang melakukan perbuatan ( pidana ) itu.

Secara Teoritis adanya pembedaan dalam dua pandangan tersebut haruslah dicermati. Secara Konseptual dua pandangan ini sama-sama dapat diikuti dalam memberikan penjelasan tentang perbuatan pidana, tetapi apabila harus diikuti salah satu pandangan, maka juga harus diikuti dan dipahami secara konsisten.

Apabila diikuti pandangan Monistis, maka harus dipahami , bahwa dengan telah terjadinya tindak pidana, maka syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi. Sementara apabila diikitu pandangan dualistis, dengan telah terjadinya tidak pidana tidak berarti syarat untuk adanya pidana sudah dipenuhi, sebab menurut pandangan dualistis tindak pidana itu hanya menunjuk pada sifat dari perbuatan itu sendiri, yaitu sifat dilarangnya perbuatan, tidak mencakup kesalah, padahal syarat untuk adanya pidana mutlak harus ada kesalahan.

Batasan / pengertian dari dua pandangan tersebut haruslah dipahami oleh semua praktisi hukum, karena tanpa memahami dari kedua pandangan tersebut yaitu pandangan Monistis dan pandangan dualistis, akan mengantarkan kita kedalam “kerancuan secara sitematis ” dalam memahami suatu tindak pidana, yang pada gilirannya akan menghasilkan pemahaman dan kostruksi piker yang salah dalam memahami tindak pidana. Oleh karenanya, pemahaman terhadap perbedaan dua pandangan tentang tindak pidana tersebut patut menjadi perhatian bagi siapaun yang sedang mempelajari batas pengertian tentang tindak pidana.

C. JENIS-JENIS / PENGGOLONGAN TINDAK PIDANA

Pada perkuliahan yang lalu sudah kami jelaskan bagian-bagian khusus atau ketentuan-ketentuan khusus yang memuat aturan-aturan tentang perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana serta menentukan ancaman pidananya. Ketentuan-ketentuan ini terdapat baik dalam KUHP maupun diluar KUHP. Dalam KUHP ketentuan ini terdapat dalam buku Ke-II tentang Kejahatan dan Buku – III tentang pelanggaran.

Perbuatan / tindak pidana yang diatur dalam KUHP buku-II KUHP terdiri dari XXXII Bab dan Buku ke- III terbagi menjadi IX Bab. Secara umum tindak pidana dapat dibedakan kedalam beberapa pembagian.

A. Tindak pidana dimaksud dapat dibedakan secara Kualitatif atas Kejahatan dan Pelanggaran :

1. KEJAHATAN :

Secara doktrin Ketajahatan adalah Rechtdelicht, yaitu perbuatan perbuatan yang ebrtentangan dengan kedailan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini jugasering disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat dukualisifikasikan sebagai Rechtdelicht dapat disebut anatara lain pembunuhan, pencurian dan sebagainya.

2. PELANGGARAN :

Jenis tindak pidana ini disebut Wetsdelicht, yaitu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana. tindaka pidana ini disebut juga mala qui prohibita. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualisifikasikan sebagai sebagai wetsdelicht dapat disebut misalnya memarkir mobil disebelah kanan jalan, berjalan dijalan raya disebelah kanan dan sebagainya.

Dalam perkembangannya pembagian tindak pidana secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran seperti tersebut diatas tidak diterima. Penolakan terhadap pembagian tindak pidana secara kualitatif tersebut bertolak dari kenyataan, bahwa ada juga kejahatan yang baru disadari sebagai tindak pidana oleh masyarakat setelah dirumuskan dalam undang-undang pidana. Dengan demikian tidak semua Kejahatan merupakan perbuatan yang benar-benar telah dirasakan mnasyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terdapat juga pelanggaran yang memang benar-benar telah dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kedailan, sekalipun perbuatan itu belum dirumuskan sebagai tindak pidana dalam Undang-undang.

B. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Formil dan tindak pidana Materiil :

1. Tindak pidana Formil :

Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Formil adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi/selesai dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibat. Tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana Formil dapat disebut misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP, penghasutan sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHP dan sebagainya.

2. Tindak pidana Materiil :

Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan pada Akibat yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana Materiil adalah tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi , atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah terjadi. Jadi jenis pidana ini mempersyaratkan terjadionya akibat untuk selesainya. Apabila belum terjadi akibat yang dilarang, maka belum bisan dikatakan selesai tindak pidana ini, yang terjadi baru percobaan . Sebagai contoh misalnya tindak pidana pembunuhan pasal 338 KUHP dan tindak pidana penipuan pasal 378 KUHP dan sebagainya.

Untuk memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil. berikut ini akan diberikan ilustrasi sebagai berikut :

Contah I :

” Terdorong keingan untuk memiliki Sepeda motor, Sia A berniat mencuri Sepeda motor Tentangganya yang disimpan diteras rumahnya. Ketika ada kesempatan, diambilah Sepeda motor milik tentangga si A tersebut. Namun ketika Si A sudah mengambil dan membawa sepeda motor tersebut, ia diketahui / kepergok pemiliknya ketika tetangganya sedang keluar dari pintu rumahnya , seketika itu dimintalah kembali Sepeda motor miliknya itu dari Si oleh A ”.

Contah II :

” Si A merasa dendam dengan temannya yang bernama Gondang, karena Gondang sering mengejeknya, Karena merasa dendam itu, ia berniat membunuh Gondang. Dengan membawa alat berupa sebilah pedang , menunggulah si A ditempat dimana Gondang akan lewat. Setelah lewat, dibacoklah tubuh Gondang dengan sebilah pedang yang sudah dipersiapkan oleh Si A. Namun bacokan itu tidak tepat sasaran, hingga bacokan itu hanya mengakibatkan Gondang mengalami luka-luka saja, dan tidak sampai meninggal dunia”.

Pada contoh I tersebut telah memberikan ilustrasi delik Formil. Meskipun akibat dari pencurian itu belum terjadi, yaitu dimilikinya sepeda motor itu oleh Si A, tetapi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap sudah terjadi atau sudah selesai. Pencurian yang dilakukan oleh Si A dianggap telah selesai, dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana pencurian yaitu mengambil, tanpa perlu dipersoalkan akibat dari pengambilan itu.

Pada contoh II diilustrasikan delik / tindak pidana Materiil. Dalam kasus ini sekalipun Si Gondang melakukan pembacokan dengan niat membunuh, tetapi karena akibat pembacokan itu belum terjadi, yaitu kematian, maka Si Gondang tidak dapat dikatakan telah melakukan pembunuhan. Dalam hal ini oleh karena akibat kematian atau hilangnya nyawa sebagai syarat mutlak dalam delik Materiil belum terjadi, maka juga berarti tindak pidana pembunuhan itu belum terjadi. Dalam kasus ini yang terjadi barulah percobaan pembunuhan.

C. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik Comissionis, delik Omisionis dan delik Comisionis per omnisionis :

1. Delik Comissionis :
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang misalnya melakukan pencurian, penipuan, pembunuhan dan sebagainya.

2. Delik Omissionis :
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap pemerintah, yaitu berbuat sesuatu yang diperintah misalnya tidak menghadap sebagai saksi dimuka persidangan Pengadilan sebagaimana ditentukan dalam pasal 522 KUHP.

3. Delik Comissionis per Omissionis Comissa
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Contohnya : Seorang ibu yang membunuh anaknya dengan cara tidak memberi air susu ( pelanggaran terhadap larangan untuk membunuh sebagaimana diatur dalam pasal 338 atau 340 KUHP ).

D. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana Kesengajaan dan tindak pidana kealpaan ( delik dolus dan delik Culpa ):

1. Tindak pidana kesengajaan / delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.

Misalnya : Tindak pidana pembunuhan dalam pasal 338 KUHP, tindak pidana pemalsuan mata uang sebagaimana diatur dalam pasal 245 KUHP dan sebagainya.

2. Tindak pidana kealpaan / delik culpa adalah delik-delik yang memuat unsur kealpaan.

Misalnya : Delik yang diatur dalam pasal 359 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang, delik yang diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu karena kealpaannya mengakibatkan orang lain luka dan sebagainya.

E. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana / delik tugal dan delik ganda :

1. Delik Tunggal adalah delik yang cukup dilakukan dengan satu kali perbuatan. Artinya delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.

Misalnya : Pencurian, penipuan, pembunuhan dan lain sebagainya .

2. Delik Ganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa kali perbuatan..

Misalnya : Untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana / delik dalam pasal 481 KUHP, maka penadahan itu harus terjadi dalam beberapa kali. Apabila hanya satu kali terjadi, maka masuk kualifikasi pasal 480 KUHP ( Penadahan biasa ).

F. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung terus dan tindak pidana yang tidak berlangsung :

1. Tindak pidana berlangsung terus adalah tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan demikian tindak pidananya berlangsung terus menerus.

Misalnya : Tindak pidana yang diatur dalam pasal 333 KUHP yaitu tindak pidana merampas kemerdekaan orang. Dalam tindak pidana ini, selama orang yang dirampas kemerdekaannya itu belum dilepas ( misalnya disekap didalam kamar ), maka selam itu pula tindak pidana itu masih berlangsung.

2. Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah yang mempunyai ciri, bahwa keadaan / perbuatan yang terlarang itu tidak berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai setelah denmgan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat..

Misalnya : Tindak pidana pencurian, pembunuhan penganiayaan dan sebagainay.

G. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan :

1. Tindak pidana Aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan / korban. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan, terhadap tindak pidana tersebut tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak pidana aduan dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu :

a. TINDAK PIDANA ADUAN ABSOLUT :

Adalah tindak pidana yang mempersyaratkan secara absolute adanya pengaduan untuk penuntutannya.

Misalnya : Tindak pidana perzinaan dalam pasal 284 KUHP, tindak pidana pencemaran nama baik dalam pasal 310 KUHP dan sebagainya. Jenis tindak pidana ini menjadi aduan, karena sifat dari tindak pidananya relative.

b. TINDAK PIDANA ADUAN RELATIF :

Pada prinsipnya jenis tindak pidana ini bukanlah merupakan jenis tindak pidana aduan. Jadi dasarnya tindak pidana aduan relative merupakan tindak pidana laporan ( tindak pidana biasa ) yang karena dilakukan dalam lingkungan keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.

Misalnya : Tindak pidana pencurian dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP dan sebagainya.

2. Tindak pidana bukan aduan adalah tindak pidana yang tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutannya :

Misalnya : Tindak pidana pembunuhan, pencurian penggelapan, perjudian dan sebagainya.

H. Tindak pidana Biasa ( dalam bentuk pokok ) dan tindak pidana yang dikualisifikasikan :

1. Tindak pidana dalam bentuk pokok adalah bentuk tindak pidana yang paling sederhana, tanpa adanya unsure yang bersifat memberatkan.

2. Tindak pidana yang dikualifikasikan yaitu tidak pidana dalam bentuk pokok yang ditambah dengan

adanya unsur pemberatan, sehingga ancaman pidananya menjadi lebih berat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut :
Tindak pidana dalam pasal 362 KUHP merupakan bentuk pokok dari pencurian, sedangkan tindak pidana dalam pasal 363 KUHP dan 365 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok ( pasal 362 KUHP ).

Tindak pidana dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk pokok dari penggelapan, sedangkan tindak pidana dalam pasal 374 KUHP dan 375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi / pemberatan dari tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok ( pasal 372 KUHP ).
Untuk memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana perbedaan tindak pidana dalam bentuk pokok dan tindak pidana yang dikualifikasikan, berikut akan kami berikan contoh pasal-pasal yang mengatur hal pengertian dimaksud :

Pasal 362 KUHP tentang tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok :

” Barang siapa mengambil suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Ketentuan pasal 362 KUHP diatas merupakan bentuk tindak pidana pencurian yang pokok, jadi merupakan bentuk pencurian yang paling sederhana. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok diatas apabila diikuti adanya unsur-unsur pemberat, maka akan berubah menjadi tindak pidana pencurian yang dikualifikasikan pencurian dengan pemberatan.

Misalnya : Tindak pidana yang diatur dalam pasal 363 KUHP seperti dalam rumusan sebagai berikut :
Pasal 363 KUHP tentang tindak pidana pencurian yang dikualifikasikan dengan pemberatan menyatakan :

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun :

Ke-1 : Pencurian ternak

ke-2 : Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, adanya huru hara, pemberontakan atau bahaya perang .

ke-3 : Pencurian diwaktu dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya disitu tidak diketahui atau dikehendaki oleh yang berhak.

ke-4 : Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.

ke-5 : Pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan cara merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

2. Jika pencurian yang diterangkan dalam butir ke-3 disertai dengan salah satu tersebut butir ke-4 dan butir ke-5, maka dikenakan pidana paling lama sembilan tahun.
Tindak pidana dalam pasal 363 KUHP tersebut merupakan bentuk pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam pasala 362 KUHP. Dengan kata lain, tindak pidana dalam pasal 363 KUHP tersebut tindak pidana pokoknya adalah tindak pidana dalam pasal 362 KUHP, yang oleh karena ada unsur pemberatnya, sehingga ancaman pidananya diperberat.

PENGHAPUSAN KEKERASAN TERHADAP ANAK DARI SEGI SOSIAL DAN HUKUM

Apa yang dimaksud dengan Perlindungan Anak ?
Perlindungan Anak adalah segala kegiatan utk menjamin & melindungi anak dan hak-haknya agar dpt hidup, tumbuh berkembang & berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat & martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan & diskriminasi
Pasal 1, ayat (2) UU No : 23 th 2002
Mengapa anak perlu dilindungi ?
Karena :
1. Anak merupakan individu yang belum matang secara fisik, mental maupun sosial.
2. Anak merupakan individu yang rentan dan masih tergantung pada orang dewasa.
3. Anak merupakan potensi bangsa yang harus dapat tumbuh kembang secara wajar.
4. Anak merupakan bagian dari masa kini dan pemilik masa depan.
5. Anak merupakan amanah dari Tuhan YME yang harus dilindungi hak asasinya sebagai manusia.
6. Berbagai peraturan perundang undangan mengamanatkan bahwa setiap anak ber hak atas perlindungan.
Anak juga harus mendapatkan perlindungan dari:
1. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
2. Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
3. Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
4. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan.
5. Sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
6. Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau tindak pemenjaraan anak hanya dilakukan bila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
7. Bagi anak yang sedang berkonflik dengan hukum berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, serta memperoleh bantuan hukum atau bantuan lain.
8. Untuk anak yang menjadi korban, pelaku kekerasan seksual atau anak yang sedang berhadapan dengan hukum, berhak dirahasiakan identitasnya.
PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN ANAK
I. Non Diskriminasi
II. Kepentingan terbaik anak
III. Hak untuk Hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak
IV. Penghargaan terhadap pendapat anak
TUJUAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK
1. Terpenuhinya hak hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
2. Terlindunginya anak dari tindak kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
PERLINDUNGAN KHUSUS DIBERIKAN KEPADA ANAK :
1. Anak dalam situasi darurat
a. Anak yang menjadi pengungsi
b. Anak korban kerusuhan
c. Anak korban bencana alam
d. Anak dalam situasi konflik bersenjata
2. Anak yang berhadapan dengan hukum
3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi
4. Anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan seksual
5. Anak yang diperdagangkan
6. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan napza
7. Anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan serta anak korban kekerasan fisik dan/atau mental
8. Anak yang menyandang kecacatan
9. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran
TINDAKAN KEKERASAN
Tindakan kekerasan Adalah penggunaan kekuatan fisik dengan sengaja atau bentuk kekuatan lainnya, ancaman, atau perbuatan nyata, terhadap seseorang, orang lain, atau terhadap suatu kelompok atau komunitas, yang mengakibatkan atau memiliki kemungkinan besar mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, salah perkembangan atau deprivasi.
JENIS TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK :
I. Fisik
II. Psikis/verbal
III. Seksual dan Eksploitasi Seksual
IV. Eksploitasi Fisik (untuk kepentingan ekonomi)
V. Kekerasan yang diakibatkan tradisi atau adat
VI. Yang termasuk tindak kekerasan fisik, antara lain :
1. Memukul
2. Melempar
3. Menampar
4. Menjambak
5. Mencubit
6. Menendang
7. Menyudut (dengan rokok)
8. Menjewer
9. Mencekik
10. Mencakar dsb
Yang termasuk tindak kekerasan psikis, antara lain :
1. Memaki
2. Menghina
3. Membentak
4. Mengancam
5. Membodohi dsb
Yang termasuk tindak kekerasan seksual dan eksploitasi seksual, antara lain :
1. Memperkosa
2. Mensodomi
3. Meraba raba alat kelamin anak
4. Meraba raba paha anak
5. Memaksa anak melakukan oral seks
6. Memaksa anak jadi pelacur
7. Meremas remas payudara anak dsb
Kekerasan fisik untuk kepentingan ekonomi, antara lain :
1. Memaksa anak menjadi pemulung
2. Memaksa anak menjadi anak jalanan
3. Memaksa anak menjadi PRTA
4. Memaksa anak menjadi pengemis
5. Memaksa anak mengamen
Kekerasan yang diakibatkan tradisi atau adat, antara lain :
1. Memaksa kawin pada usia muda bagi anak-anak perempuan
2. Anak ditunangkan sejak usia dini
3. Memotong jari anak jika ada keluarga yang meninggal
4. Sunat perempuan
DAMPAK TIDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK :
I. Dampak tindak kekerasan Fisik:
a. Meninggal dunia
b. Cacat seumur hidup
c. Luka-luka
d. Trauma


II. Dampak tindak kekerasan Phikis/Verbal :
1. Trauma
2. Rendah diri
3. Bandel/nakal
III. Dampak tindak kekerasan seksual :
1. Kehamilan yang tidak diinginkan (KTD)
2. Trauma
3. Perilaku seksual menyimpang
IV. Dampak tindak eksploitasi fisik :
1. Kehilangan masa anak anaknya
2. Resiko putus sekolah tinggi
3. Kesehatan anak terganggu
4. Menjadi tenaga kerja murah
V. Dampak tindak kekerasan yang diakibatkan tradisi/adat :
1. Cacat fisik
2. Kawin muda
3. Resiko mengalami KDRT
4. Resiko terganggu kesehatan reproduksinya.
KEBIJAKAN KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM UPAYA MENGHAPUS TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK
I. Menyusun RAN PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak)
II. Keppres No : 87 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN ESKA)
III. Keppres No : 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A)
IV. TESA 129 (Telephon Sahabat Anak/Child Help Line)
V. Menggerakkan dan mendorong terwujudnya Kota Ramah Anak di 15 Kabupaten/Kota (sebagai implementasi World Fit For Children/Dunia yang layak bagi anak).
VI. Sosialisasi UU No: 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta UU No : 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang


ANCAMAN HUKUMAN TERHADAP PELAKU TINDAK
KEKERASAN TERHADAP ANAK
Pidana Penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000, (seratus juta rupiah), bagi :
a. Siapa saja yang melakukan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik moril maupun materiil sehingga menghambat fungsi sosialnya.
b. Siapa saja yang menelantarkan anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial.
Pasal 77 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), bagi :
Siapa saja yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu.
Pasal 78 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), bagi :
Siapa saja yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak.
Pasal 79 UU No : 23 th 2002
Barangsiapa melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, maka ancaman hukumannya adalah :
- Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah).
- Bila anak luka berat, maka ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
- Bila anak sampai meninggal, maka pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
- Bila yang melakukan penganiayaan tersebut adalah orang tuanya, maka hukuman pidana ditambah sepertiga dari ketentuan tersebut.
Pasal 80 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 81 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 81 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual.
Pasal 83 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Pasal 84 UU No : 23 th 2002

Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 300.000. 000,- (tiga ratus juta rupiah) bagi :
- Siapa saja yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
Pasal 85 (1) UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000 .000,- (dua ratus juta rupiah) bagi :
- Siapa saja yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai obyek penelitian tanpa seijin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak.
Pasal 85 (2) UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus ratus juta rupiah) bagi :
- Siapa saja yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai agama yang dianutnya.
Pasal 86 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus ratus juta rupiah) bagi :
- Siapa saja yang secara melawan hukum merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer atau penyalahgunaan dalam kegiatan politik atau pelibatan dalam sengketa bersenjata atau pelibatan dalam kerusuhan sosial atau pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan atau pelibatan dalam peperangan.
Pasal 87 UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000. 000,- (dua ratus juta rupiah) bagi :
- Siapa saja yang secara sengaja mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Pasal 88 UU No : 23 th 2002
Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun dan denda paling banyakRp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan paling sedikitRp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi atau distribusi narkotika dan/atau psikotropika.
Pasal 89 (1) UU No : 23 th 2002
Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling singkat 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan denda paling sedikit Rp.20.000. 000,- (dua puluh juta rupiah), bagi :
- Siapa saja yang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi, atau distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya.
Pasal 89 (2) UU No : 23 th 2002