PEJUANG KEADILAN

Minggu, 24 Oktober 2010

Lanjutan catatan saya tentang Hak Tanggungan

SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN



Penentuan pembebanan Hak Tanggungan harus dilakukan atau dibuat dengan perantaraan kuasa yang akta autentik, sebagai penjabaran ketentuan sebelumnya yang terdapat dalam Pasal 1171 KUH Perdata ayat (2) yang pada prinsipnya untuk memasang Hipotek harus dibuat dengan akta autentik. Akta autentik yang dimaksudkan adalah akta yang dibuat oleh notaris. Sementara itu, khusus Surat kuasa pembebanan Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:



Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut :



(a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan (Yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah.)



(b) tidak memuat hak subsitusi (Yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala cabangnya untuk atau pihak lain).



(c) mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, Jumlah utang dengan nama serta identitasnya kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. (Kejelasan mengenai unsur-unsur pokok dalam pembebanan Hak Tanggungan sangat diperlukan untuk kepentingan perlindungan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dimaksud pada huruf ini adalah Jumlah utang sesuai dengan yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (I).)



(d) Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali tidak dapat berakhir oleh sebab apa pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Surat kuasa membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.



Sejalan dengan ketentuan Pasal 15 di atas, khusus penjelasan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa:



Sebagaimana telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum angka 7 pada asasnya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan PPAT diperkenankan penggunaan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan.



Sejalan dengan itu, surat kuasa tersebut harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan pada ayat ini. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan apabila surat kuasa membebankan Hak Tanggungan tidak dibuatkan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan termasuk di atas.



Beranjak dari ketentuan Pasal 15 UUHT dan penjelasannya, khusus untuk ketentuan Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) telah dikeluarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Meneg Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu tanggal 8 Mei 1996. Dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) dinyatakan bahwa, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 28 Mei 1993, berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan adanya jenis-jenis kredit tersebut, dalam Pasal 1 PMNA/ KBPN disebutkan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagai berikut.



1) Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang meliputi:



(a) Kredit kepada Koperasi Unit Desa;

(b) Kredit Usaha Tani;

(c) Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya.

(2) Kredit Pemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu

(a) Kredit yang diberikan untuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah sederhana, atau rumah susun dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi);

(b) Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 m2 (tujuh puluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai bangunannya;

(c) Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana dimaksud huruf a dan b.

(3) Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Badan Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) antara lain:



a) Kredit Umum Pedesaan;



b) Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah),



Sementara untuk objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, dalam Pasal 2 peraturan MNA/ KBPN ditentukan sebagai berikut.



Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis kredit di bawah ini dengan objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya sertifikat hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan:



(1) Kredit produktif yang termasuk Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. Kep.26/24/KEP/DIR tanggal 29 Mei 1993 yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkereditan Rakyat dengan plafon kredit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) ke atas sampai dengan Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);



(2) Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Surat Direksi Bank Indonesia sebagaimana disebut pada poin 1, yang tidak termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah toko (ruko) oleh usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 (dua ratus meter persegi) dan luas bangunan rumah dan toko tersebut masing-masing tidak lebih dari 70 M2 (tujuh puluh meter persegi) dengan plafon tidak melebihi Rp.250. 000. 000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), yang dijamin dengan hak atas tanah yang dibiayai pengadaannya dengan kredit tersebut;



(3) Kredit untuk perumahan inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR lainnya yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaannya dibiayai dengan kredit tersebut;



(4) Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada pengembang dalam rangka Pemilikan Kredit rumah yang termasuk Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan hak atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiayai dengan kredit tersebut.



E. PERINGKAT HAK TANGGUNGAN



Hak Tanggungan memiliki peringkat sesuai dengan waktu pendaftarannya.



Hak Tanggungan tersebut didaftar di Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai



ketentuan Pasal 5 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Suatu objek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Apabila suatu objek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 1, 2 dan 3).



Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 5 di atas, St. Remy Sjandeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 125)



Ketentuan mengenai penentuan dari urutan peringkat dari beberapa Hak Tanggungan yang telah dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dikemukakan di atas merupakan perbaikan dari ketentuan mengenai penentuan peringkat dari beberapa Hipotek yang dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dalam Pasal 1181 ayat (2) KUHPerdata. Dalam Pasal 1181 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai suatu Hipotek yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana pembukuan itu dilakukan, sekalipun jam dilakukan pembukuan itu dicatat oleh pegawai penyimpan Hipotek.



F. BERALIHNYA HAK TANGGUNGAN



Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu hak, konsekuensinya suatu saat akan beralih atau dialihkan kepada pihak yang lain. Hal ini pulalah yang menimpa mengenai Hak Tanggungan, suatu saat akan berpindah ke pihak lain. Hal ini diatur dalam Pasal 16 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie (Cessie adalah perbuatan hukum mengalihkan piutang oleh kreditor pemegang Hak Tanggungan kepada pihak lain.), subrogasi (Subrogasi adalah penggantian kreditor oleh pihak ketiga yang melunasi utang debitor), pewarisan, atau sebab-sebab lain (Yang dimaksud dengan sebab-sebab lain, adalah hal-hal lain selain yang diperinci pada ayat ini, misalnya dalam hal terjadinya pengambilalihan atau penggabungan perusahaan sehingga menyebabkan beralihnya piutang dari perusahaan semula kepada perusahaan yang baru).



Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru (ayat (1)). Beralihnya Hak Tanggungan wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan (ayat (2)). Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya pada buku-tanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat Hak Tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan (ayat (3)). Tanggal pencatatan pada buku-tanah adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jika hari ketujuh itu jatuh tempo pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal hari kerja berikutnya (ayat (4)). Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan (ayat (5)).



Berangkat dari ketentuan Pasal 16 di atas, maka dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa, karena beralihnya Hak Tanggungan yang diatur dalam ketentuan ini terjadi karena hukum, hal tersebut tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Pencatatan beralihnya Hak Tanggungan ini cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kepada kreditor yang baru.



Sejalan dengan uraian di atas, menurut St. Remy Sjahdeini mengatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 131)



Ketentuan ini sangat penting bagi praktik perbankan. Dalam praktik perbankan, sering kredit bank, dalam arti sebagai piutang bank, diambil alih oleh bank lain. Dengan kata lain, terjadi penggantian kreditor dengan nasabah debitor yang sama. Hal ini sering pula terjadi dalam hal kredit sindikasi, yaitu peserta sindikasi dari pasar sindikasi perdana (primary market of syndicated loan) menjual penyertaannya kepada peserta sindikasi baru dalam pasar sekunder (secondary market of syndicated loan). Jual beli penyertaan sindikasi kredit tersebut sering terjadi bagi kredit-kredit sindikasi yang berbentuk transferable loan facility. Transaksi penjualan penyertaan sindikasi kredit ini lazim disebut debt sale.



Mencermati ketentuan Pasal 16 di atas, maka akan menimbulkan persoalan baru, yakni berkisar pada praktik perbankan yang sering timbul terjadinya pergantian debitor. Sebab yang dipersoalkan pada Pasal 16 ini, hanya pergantian kreditor (bank) saja. Pertanyaan ini diatur dalam KUH Perdata, ditentukan bahwa terjadinya penggantian debitur dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga novasi (pembaruan utang).

Menurut St. Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan tidak dapat beralih karena novasi. Menurut Pasal 1381 KUH Perdata, perjanjian (lama) berakhir karena dibuatnya perjanjian baru atau novasi. Sementara menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Jadi, karena perjanjian baru yang mengakhiri perjanjian lama, Hak Tanggungan menjadi berakhir pula (ibid, hlm. 132)



Ketentuan dalam Pasal 16 UUHT di atas yang tidak mengatur tentang diperbolehkannya pergantian debitur berpatokan pada Pasal 1422 KUH Perdata yang dinyatakan pergantian debitur tidak mengakibatkan beralihnya Hipotek atas benda milik debitur lama kepada pemilik debitur baru. Apabila pembaruan utang diterbitkan dengan penunjukan debitur baru yang menggantikan debitur lama, maka hak-hak istimewa dan hipotek-hipotek yang dari semula mengikuti piutang, tidak berpindah atas barang-barang debitur baru.



Dengan demikian, apabila Hak Tanggungan diberlakukan untuk menjamin utang baru akibat perjanjian novasi tidak dapat dimungkinkan dengan menerapkan Pasal 3 ayat (1) UUHT, sekalipun Pasal 3 ayat (1) dinyatakan, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan utang baru, akan tetapi utang yang baru itu harus telah diperjanjikan sebelumnya. Perjanjian novasi yang dikemukakan di atas tidaklah mungkin diperjanjikan sebelumnya.



Untuk mengatasi persoalan di atas, St. Remy Sjahdeini menawarkan konsep dengan menyatakan bahwa:



Untuk mengakomodasi kebutuhan perbankan agar Hak Tanggungan dapat tetap melekat pada kredit (yang bermasalah) yang dialihkan oleh bank kepada pihak lain sebagai debitor baru yang menggantikan debitor yang lama, haruslah penggantian debitor itu ditempuh bukan melalui lembaga novasi. Karena KUH Perdata tidak terdapat yang memungkinkan terjadinya penggantian debitor selain dari novasi, maka harus dibuat perjanjian khusus di antara pihak yang menginginkan terjadinya penggantian debitor itu tanpa mengakhiri perjanjian utang piutangnya. Perjanjian tersebut adalah "Perjanjian Pengambilalihan Utang".



G. PEMBERIAN, PENDAFTARAN, DAN PENCORETAN HAK TANGGUNGAN



Suatu proses yang ditempuh dalam peralihan hak atas tanah yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan adalah melalui suatu proses pemberian, pendaftaran, dan pencoretan Hak Tanggungan tersebut.



1. Tata Cara Pemberian dan Pendaftaran Hak Tanggungan



Tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan, diatur dalam Pasa 1 17 UUHT Tahun 1996 dinyatakan bahwa:



Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentuk dan isi bukutanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tats cara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.



Ketentuan Pasal 17 UUHT di atas menginginkan agar peraturan pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan ketentuan Peraturan Pemerintah, akan tetapi yang dikeluarkan oleh Pemerintah adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan sertifikat Hak Tanggungan. Oleh karena itu, peraturan pemerintah yang akan dijadikan jabaran Pasal 17 UUHT ini, misalnya PP Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.



Tata cara pemberian Hak Tanggungan merupakan kunci terjadinya proses pelimpahan kepada pihak ketiga, karena di dalamnya terdapat janji pelunasan utang. Tata cara ini diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut :



Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan (ayat 1, 2, dan 3).



Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 ayat(2) di atas, dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) dinyatakan bahwa:



Yang dimaksud dengan hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada, akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Mengingat tanah dengan hak sebagaimana dimaksud di atas pada waktu ini masih banyak, pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah itu dimungkinkan asalkan pemberiannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat untuk memperoleh kredit.



Di samping itu, kemungkinan di atas dimaksudkan juga untuk mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya. Dengan adanya ketentuan ini berarti bahwa penggunaan tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk dan lain-lain yang sejenis masih dimungkinkan sebagai agunan.



Menurut St. Remy Sjahdeini, ketentuan Pasal 10 ayat (3) itu merupakan keterkaitan dengan ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang di didalam penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa tanah girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan.



Menelaah dengan cermat ketentuan Pasal 10 ayat (3) UUHT dan penjelasannya, serta ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka menurut penulis pada tataran hukum formal dimungkinkan untuk menjadikan bukti girik, petuk, dan sejenisnya dijadikan jaminan utang, akan tetapi pada tataran operasional bank sulit menerima tanda bukti tersebut.



Hal inilah yang menjadi permasalahan, sebab dalam kenyataan bank akan menerima tanah yang akan dijadikan agunan kalau tanah tersebut telah memiliki sertifikatnya.



Sementara itu, banyak masyarakat di desa yang memiliki tanah dengan hanya mengandalkan tanda bukti yang bukan merupakan girik, petuk, sebab girik dan petuk hanya dikenal di Pulau Jawa dan Sumatra.



Dengan demikian, yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 tersebut, perlu dibuatkan peraturan yang membedakan antara tanda girik dan petuk yang ada di Jawa dan Sumatra dengan yang ada di luar Jawa dan Sumatra tersebut. Dalam artian bahwa di luar Jawa dan Sumatra tanda bukti yang telah diakui oleh masyarakat setempat diterima sama dengan girik dan petuk yang terdapat di Jawa dan Sumatra tersebut.



Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 10 UUHT di atas, pemberian Hak Tanggungan juga harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan identitas pemegang Hak Tanggungan tersebut. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 11 UUHT dinyatakan bahwa:



Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan:



(a) nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan (Apabila Hak Tanggungan dibebankan pula pada benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah milik orang-perorangan atau badan hukum lain daripada pemegang hak atas tanah, pemberi Hak Tanggungan adalah pemegang hak atas tanah bersama-sama pem i I ik benda tersebut.)



(b) domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan apabila di antara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, baginya harus pula dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor PPAT tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih (Dengan dianggapnya kantor PPAT sebagai domisili di Indonesia, bagi pihak yang berdomisili di luar negeri apabila domisili pilihannya tidak disebut di dalam akta, syarat pencantuman domisili pilihan tersebut dianggap sudah dipenuhi).



(c) penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1). (penunjukan utang atau utang-utang yang dijamin sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi juga nama dan identitas debitor yang bersangkutan)



(d) nilai tanggungan;



(e) uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. (Uraian yang jelas mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada huruf ini meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau bagi tanah yang belum terdaftar sekurang-kurangnya memuat uraian mengenai kepemilikan, letak, batas-batas, dan Iuas tanahnya)



Berkaitan dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) di atas, maka dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) di atas dinyatakan bahwa:



Ketentuan ini menetapkan isi yang sifatnya wajib untuk sahnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Tidak dicantumkannya secara lengkap hal-hal yang disebut pada ayat ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan mengakibatkan akta tersebut batal demi hukum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, balk mengenai objek maupun utang yang dijamin.



2. Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan



Dalam Pasal 13 ayat (1) diatur mengenai pemberian Hak Tanggungan, yaitu wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dijelaskan baigaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Menurut St. Remy Sjahdeini, tata cara pelaksanaan adalah sebagai berikut.



(a) Setelah penandatanganan Akta pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT dilakukan oleh para pihak, PPAT mengirimkan Akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh kantor Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.



(b) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.



(c) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya:



Dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 13 UUHT di atas, maka teknis pendaftaran mengenai Hak Tanggungan tetap mengacu kepada ketentuan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.



3. Tata Cara Pencoretan Hak Tanggungan



Suatu Hak Tanggungan dapat dilakukan pencoretan apabila tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan telah dihapus. Namun demikian, dalam kaitannya dengan pencoretan Hak Tanggungan, hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa:



Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan.



Sejalan dengan pencoretan Hak Tanggungan di atas, maka sebelum dilakukannya pencoretan, harus didahului dengan mengajukan pemohonan oleh para pihak kepada Kantor Pertanahan. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) dinyatakan bahwa:



Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberikan catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.



Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (4) di atas, bagaimana kalau ada pihak yang berkepentingan tidak mau melakukan pencoretan terhadap Hak Tanggungan. Permasalahan ini dijawab oleh Pasal 22 ayat (5), (6), dan ayat (7) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut.



Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh pengadilan lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan (Pasal 6). Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan (ayat (7)).



H. HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN



Hak Tanggungan akan mengalami suatu proses berakhir, yang sama dengan hak-hak atas tanah yang lainnya. Ketentuan hapusnya Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa:



Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut: :



(a) hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;



(b) dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; (c) pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;



(d) hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (ayat (1)). Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan (ayat (2)).



Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah yang dibebankan Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan (ayat (3)). Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin (ayat (4)).



Sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 18 UUHT di atas, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa:



Sesuai dengan sifat accesoir dari Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya Hak Tanggungan yang bersangkutan hapus juga.



Selain itu, pemegang Hak Tanggungan melepaskan Hak Tanggungannya dan hak atas tanah dapat hapus yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan.



Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA, atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan dapat diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.



Sementara itu, hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak



Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri, hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat (1) UUHT yang dinyatakan sebagai berikut. Pembeli obyek Hak Tanggungan, balk dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUHT di atas, maka bagaimana penyelesaiannya apabila pemegang Hak Tanggungan tidak mengabulkan permohonan pembeli? Persoalan ini dijawab oleh Pasal 19 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut.



Apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara Para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dari beban melebihi harga pembeliannya, pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan pembagian hasil penjualan lelang di antara Para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut perundang-undangan yang berlaku.



Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) UUHT di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan bahwa: (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 155-156.)



Sekalipun tidak ditentukan secara eksplisit di dalam UUHT mengenai apa yang dapat ditempuh oleh pembeli apabila pemegang Hak Tanggungan dalam hal hanya ada satu Hak Tanggungan yang dibebankan atas objek hak tanggungan ternyata tidak bersedia memberikan persetujuannya (memberikan surat persetujuan) agar benda yang dibeli oleh pembeli itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.



Karena itu, sejalan dengan asas yang ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) UUHT, pembeli dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk melakukan pembersihan yang dimaksud, maka bila cara ini tidak dimungkinkan untuk ditempuh, sudah barang tentu tidaklah mungkin terjadi pembelian di dalam pelelangan dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan itu (pelelangan umum tidak ada pembelinya). Siapa yang akan ikut menjadi pembeli dari pelelangan umum mengingat sudah menjadi kenyataan di dalam praktik, bahwa harga penjualan pelelangan umum sering tidak dapat terjadi pada harga nilai pasar dari objek Hak Tanggungan itu. Pembeli lelang selalu ingin memperoleh kesempatan membeli dengan harga murah (di bawah harga pasar).



Beranjak dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) di atas, khusus untuk Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai untuk rumah tempat tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1996 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik.



Sehubungan dengan ketentuan ini, berlaku ketentuan sebagaimana disebut di bawah ini.



(1) Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.



(2) Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan hapus.



(3) Kepala Kantor Pertahanan karena jabatannya mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.



(4) Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.



(5) Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.



Berdasarkan ketentuan PNMA/KBPN tersebut, secara hukum hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik tersebut dilakukan. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang Hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik di daftar, Hak Tanggungan menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. (Ibid, hlm. 157-158)



1. HARTA KEPAILITAN DAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN



Suatu masalah yang sering kali timbul adalah posisi pemegang Hak Tanggungan akibat pemberi Hak Tanggungan mengalami pailit. Masalah ini telah diatur dalam Pasal 21 UUHT yang menyatakan bahwa apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini.



Berkaitan dengan posisi pemegang Hak Tanggungan terhadap pailitnya pemberi Hak Tanggungan, maka kedudukan pemegang Hak Tanggungan akibat jatuh pailitnya pemberi Hak Tanggungan selanjutnya diatur oleh UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (sebagaimana diganti dengan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU). Dalam Pasal 56A UU Kepailitan tersebut dinyatakan hak preferen dari kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaannya untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Meskipun ditangguhkan eksekusinya, hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindah-tangankan oleh kurator. Harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas hanya pada barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak (current asset) meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan kebendaan.



Dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 56A di atas, dalam penjelasan Pasal 56A dinyatakan bahwa:



Maksud penangguhan ini bertujuan antara lain untuk memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian, atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit, atau untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal. Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum untuk memperoleh Pelunasan atas suatu piutang tidak dapat dijatuhkan dalam sidang peradilan, dan balk kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan.



Sebagaimana diketahui bahwa Hak Tanggungan bertujuan untuk menj am in utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Apabila debitur cedera janji, tanah (hak atas tanah) yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh Pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan Pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut. (St. Remy Sjahdeini, op. cit, hlm. 164.)



Untuk menjaga jangan sampai penjualan tersebut tidakfair, maka penjualan atas hak yang dijadikan jaminan Hak Tanggungan tersebut dilakukan secara lelang. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang pada prinsipnya menyatakan: objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tats cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.



Berkaitan dengan penjualan jaminan benda di mans pemegang Hak Tanggungan pertama mendapatkan hak istimewa untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut, ketentuan ini didasarkan Pasal 6 UUHT yang menyatakan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan tersebut.



Selain pemegang pertama pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan tersebut di pelelangan umum, pemegang Hak Tanggungan pertama juga mendapatkan hak untuk melakukan penjualan di bawah tangan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.



Berkaitan dengan penjualan objek Hak Tanggungan dilakukan di bawah tangan di atas, St. Remy Sjahdeini menyatakan (Ibid, hlm. 165)



Karena penjualan di bawah tangan dari objek Hak tanggungan hanya dilaksanakan apabila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, bank tidak mungkin-melakukan penjualan di bawah tangan dari objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu apabila debitor tidak menyetujuinya.



Berkaitan dengan masalah diperbolehkannya pemegang Hak Tanggungan melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan di bawah tangan, timbul persoalan, bagaimana kalau kredit yang dijamin dengan agunan macet, langkah apa yang dilakukan oleh bank? St. Remy Sjandeini berpendapat (Ibid, hlm. 166) :



Agar bank kelak setelah kredit diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, bankpada waktu kredit diberikan mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar