PEJUANG KEADILAN

Kamis, 23 September 2010

PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA DARI PASAL 183 KUHAP DIHUBUNGKAN PULA DENGAN PENGERTIAN DARI BARANG BUKTI

Latar Belakang Masalah

Kepolisian dan Kejaksaan merupakan suatu alat Negara dibidang Penegakan Hukum, sedangan Lembaga Peradilan yang Pengadilan adalah merupakan suatu pelaksana dari suatu Per Undang-unadang yang ada Di suatu Negara, Perundang-undangan adalah suatu peraturan yang berisi tentang larang maupun perintah dimana hal tersebut dikuti pula dengan adanya beberapa sanksi, Perundang-undangan adalah merupakan Produk dari Pemerintaha beserta DPR, DPRD. Selain Perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang larangan dan / atau perintah ( Mis. KUHP, UU Korupsi, UU Perlindungan Anak, Perda dll ), ada juga produk lain yang mengatur bagaimana cara menjalankan Undang-undang dimaksud, salah satunya lajim disebut dengan KUHAP ( KItab Undang-undang Hukum Acara Pidana ), HIR dll.,

Sebagai dasar pelaksana Penegakan Hukum, baik itu pihak Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Peradilan, mereka mempunyai fisi dan misi yang sama yaitu ining menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Dalam menjalankan Undang-undang yang merupakan dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara serta pandangan hidup bangsa, agar dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Oleh karenanya Undang-undang itu dapatlah dijalankan oleh Penegak Hukum jika ditunjang dengan adanya peraturan yang mengatur bagaimana para penegak hukum tersebut menjalankannya Undang-undang dimaksud, agar tidak terjadi suatu pelanggaran atau manipulasi kebenaran terhadap penegak Hukum itu sendiri. KUHAP telah mengatur bagaimana para penegak Hukum itu dalam menjalankan Undang-undang mis KUHP, khususnya dalam hal pembuktian perkara Pidana.

Maksud dan tujuan diterbitkannya KUHAP adalah sebagai dasar hukum bagi para penegak Hukum maupun pelaksana undang-undang dalam hal ini Hakim agar dapat mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.

Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.

Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.

Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, dimana dalam pasal tersebut diuraikan sebagai berikut :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.



Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :



1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,

2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.

Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.



Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.



Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut

1. Keterangan saksi;
2. Keterangan ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.

Mengenai alat-alat bukti ini sebelum KUHAP diatur didalam Pasal 295 R.I.D yang isinya adalah :

1. kesaksian-kesaksian,

2. surat-surat,

3. pengakuan, dan

4. petunjuk-petunjuk.



Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.



Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan.



Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak perlunya pembuktian tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya ?.



Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu sendiri tidak ada. Dengan demikian ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut wajib terpenuhi keduanya.



Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi Hakim haruslah memperoleh dari bukti yang diajukan dimuka persidangan dimana bukti-bukti tersebut telah ketentuan yang ada pada pasal 183 KUHAP dan yang terpenting adanya persesuai antara alat bukti yang satu dengan yang lainnya ditambah dengan adanya keyakinan bahwa perbuatan tersebut benar-benar terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya. Alat bukti dimaksud juga harus dikatakan sah jika dihadapkan dimuka persidangan ketika acara pemeriksaan dilaksanakan di pengadilan, mengapa demikian, karena tidak jarang barang butki yang telah disita oleh penyidik namun ketika dipersidangan tidak diajukan sebagai alat bukti, namun demikian Hakim tetap mempertimbangkannya, ini merupakan kesalahan fatal dalam sistem pembuktian menurut KUHAP kita.



Dari beberpa alat-alat bukti yang sah dapat pula diseusaikan dengan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.



Apabila hakim dari alat-alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan. Dengan demikian walaupun lebih dari dua orang saksi menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang telah melakukan tindak pidana, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, jika hakim tidak yakin bahwa ia dengan kesaksian oleh lebih dari dua orang saksi tersebut benar-benar dapat dipercaya dan oleh karena tujuan dari proses pidana adalah untuk mencari kebenaran materil, maka hakim akan membebaskan terdakwa dalam hal ini.



Dari sini haruslah diingat bahwa keyakinan hakim tersebut bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi haruslah timbul dari alat-alat bukti yang sah yang telah disebutkan didalam Undang-undang, dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat di pertanggung jawabkan suatu keputusan walaupun sudah cukup alat-alat bukti yang sah hakim begitu saja mengatakan bahwa ia tidak yakin dan karena itu ia membebaskan terdakwa, tampa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebab ia tidak yakin. Keyakinan Hakim disini tidak saja terhadap alat-alat bukti yang di tentukan didalam Pasal 184 KUHAP saja tetapi adanya peranan dari barang-barang bukti yang di temukan di tempat kejadian perkara seperti pisau atau peluru yang dipakai untuk membunuh dan mencelakai orang lain, sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) yang berhubungan dengan barang bukti sebagai hasil dari penyitaan dan barang-barang yang dapat disita yang dilakukan penyidik dalam menjalankan fungsinya.



Jadi walaupun barang bukti tidak diatur didalam Pasal 183 KUHAP atau didalam pasal tersendiri didalam KUHAP sebagai salah satu syarat dalam pembuktian namun barang bukti menurut saya mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal juga bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian.

Dari uraian dan konsep-konsep yang dikemukakan di atas akan timbul pertanyaan, kenapa hakim sampai membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum, sementara segala bukti yaitu yang berasal dari alat-alat bukti yang sah telah mencukupi bukti minimum. Atau sebaliknya hakim dapat menghukum seseorang yang kalau dilihat dari sudut yuridis, kenyataannya tidak bersalah. Jadi secara fungsional kegunaan barang-barang bukti dalam suatu pembuktian pidana adalah ada hubunannya dengan alat-alat bukti dan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian pidana di Indonesia sehingga timbulnya suatu putusan hakim (sentencing) yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran Materil.



Dari urain diatas, akhirnya timbulah keinginan saya untuk mengetahui lebih jauh tentang : “PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA DARI PASAL 183 KUHAP DIHUBUNGKAN PULA DENGAN PENGERTIAN DARI BARANG BUKTI.”



B. Perumusan Masalah



Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan diatas, dapat di kemukakan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah peranan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana pada saat pemeriksaan terdakwa di Pengadilan ?
2. Bagaimanakah tahap-tahap pengumpulan barang bukti serta apakah yang menjadi kendala-kendala dalam peninjauan barang bukti dalam dalam pembuktian perkara pidana dipengadilan ?
3. Bagaimanakah status barang bukti setelah adanya putusan hakim ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimanakah peranan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah tahapan-tahapan pengumpulan barang bukti yang dilakukan oleh penyidik serta kendala-kendala dalam peninjuan barang bukti dalam sistem pembuktian perkara pidana di Pengadilan?
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan status barang bukti setelah adanya putusan hakim.

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari catatan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis
1. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan yang diharapkan dapat diterima sebagai sumbangan pemikiran serta menambah bahan bacaan dipribadi maupun pihak yang memerlukan pengetahuan tentang hukum
2. Menerapkan teori-teori hukum yang dipernah kita terima dibangku perkuliahan serta menghubungkannya dengan praktek di lapangan.
3. Untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang hukum yang pada akhirnya dapat sebagai leteratur dalam perpustakaan pribadi khususnya dibidang hukum Pidana.

1. Manfaat Praktis

Sebagai bahan bacaan pribadi tentang ilmu Hukum dikala kita sedang santai dan membutuhkan.



C. Kerangka Teoritis dan kerangka konseptual



Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di Indonesia yang masih menganut sistem pembuktian secara Negatief Wettelijk dalam pembuktian sebuah perkara pidana di Indonesia yang pada dasarnya adalah demi mencari kebenaran materil dan kepastian hukum pidana yang semakin nyata dibutuhkan di dalam suatu masyarakat.



Hal ini haruslah dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah dibuat, yaitu aturan yang menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut, serta menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.



Bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dijelaskan secara eksplisif mengenai pengertian pembuktian dalam pasal-pasal tertentu, namun mengenai pengertian pembuktian ini tersebar pada satu bab khusus mengenai pembuktian dan putusan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu yang terdapat di dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 202 KUHAP.



Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya pembuktian didalam penyelesaian suatu perkara pidana di Indonesia.

Suatu pembuktian menurut hukum merupakan suatu proses menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta yang terang dalam hubungannya didalam perkara pidana. Hukum pembuktian pada dasarnya merupakan ketentuan yang mengatur mengenai proses pembuktian.



Di dalam Pasal 183 KUHAP menjelaskan tentang apa apa yang diharuskan di dalam suatu pembuktian perkara pidana di Indonesia diantaranya perlunya minimal dua alat bukti yang sah yang memperoleh keyakinan hakim bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya, hal ini sangat penting karena menjadi patokan dalam proses pembuktian di Indonesia, gunanya adalah tidak lain dari untuk mencari suatu kebenaran materil. Hal ini sejalan dengan tujuan hukum acara pidana yang antara lain dapat dibaca didalam pedoman pelaksanan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri kehakiman sebagai berikut : “ Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelangaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwakan itu dapat di persalahkan.”



Prinsip batas minimal pembuktian yang terdiri sekurang-kurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi di tambah satu alat bukti yang lain, hal ini merupakan batasan pembuktian yang lebih ketat dari pada dahulu yang di atur di dalam HIR yaitu pada Pasal 292 sampai dengan Pasal 322 tentang permusyawaratan, bukti dan putusan hakim, hal ini sangat berdampak pada suasana penyidikan yang tidak lagi main tangkap dulu baru nanti di pikirkan pembuktian, namun metode kerja penyidik menurut KUHAP haruslah di balik yaitu lakukan penyidikan dengan cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti yakni alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP dan termasuk bukti lain yang berasal dari barang-barang bukti hasil kejahatan.



Dari bukt-bukti tersebut baru dilakukan pembuktian.

Mengenai barang-barang bukti yang dimaksud yaitu diatur didalam Pasal 39 KUHAP tentang apa apa yang dapat dikenakan tidakan penyitaan oleh penyidik di tempat kejadian perkara yang dapat dikatakan sebagai barang bukti. Di pengadilan barang bukti tersebut dipergunakan pada saat pemeriksaan barang bukti guna dilakukanya pengesahan terhadap barang bukti tersebut yang dilakukan dengan cara memperlihatkan langsung kepada terdakwa maupun saksi, lalu diberikan pertanyaan baik kepada terdakwa maupun saksi yang berhubungan dengan barang bukti yang dihadirkan didalam persidangan guna terang dan ditemukannya fakta-fakta mengenai kesalahan terdakwa atau ketidaksalahan tedakwa sendiri (guilty or not guilty). Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa pentingnya adanya pemeriksaan barang bukti di pengadilan guna mengungkapkan suatu peristiwa pidana.



Membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran suatu peristiwa tersebut. Dalam proses acara pidana sangat diperlukan adanya pembuktian yang memegang peranan penting didalam sistem pembuktian yang dianut di Indonesia. Bahwa di dalam Pasal 183 KUHAP ini diisyaratkan pula bahwa segala pembuktian haruslah didasarkan atas adanya keyakinan hakim terhadap minimum alat bukti yang diatur di dalam undang-undang ini. Pembuktian ini juga diatur di dalam aturan yang dahulu diatur HIR pada Pasal 294 yaitu sebagai berikut :“Tidak seorangpun boleh dikenakan hukuman, selain jika hakim mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dihukum dan bahwa orang yang dituduh itulah yang salah tentang perbuatan itu.”



Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa didalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkata pidana.

“Menurut Subekti, ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila hakim, dalam melaksanakan tugasnya tersebut, diperbolehkan menyandarkan putusan hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti”



Barang Bukti

“Barang bukti : benda-benda yang dipergunakan untuk memperoleh hal-hal yang benar-benar dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa terhadap perkara pidana yang di tuduhkan.”



Pembuktian

Pembuktian berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata “pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.[9]

“M.Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa”



Pidana

“Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai subjek tindak pidana.”



Hukum Pembuktian

“keseluruhan aturan atau peraturan Undang-undang mengenai setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang di duga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap saran bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.”



Hukum pembuktian dalam arti luas adalah keseluruhan hukum yang mengatur proses pembuktian suatu kasus pidana berdasarkan alat-alat bukti menurut Undang-undang dan barang bukti yang ditemukan. Sedangkan hukum pembuktian dalam arti sempit adalah keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur proses pembuktian suaru kasus pidana didepan pengadilan berdasarkan alat bukti menurut undang-undang dan barang bukti yang ada



Putusan hakim

Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP adalah :

“Putusan pegadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur didalam Undang-undang”.



Penulisan ini bersifat yuridis sosiologis (Sosiologis Research). Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini berupa pendekatan Undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual.



Menekankan praktek dilapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melalui norma-norma yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat.



Catatan ini juga bersifat Deskriptif, yaitu memberikan data tentang sesuatu atau gejala-gejala sosial yang berkembang ditengah-tengah masyarakat sehingga dengan fakta ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis tentang praktek penegakan hukum yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar